Wednesday, June 06, 2012

Fisiologi Pasca-Panen Buah dan Sayuran


Buah dan sayuran (Fruit and Vegetable/FnV) merupakan salah satu bidang pangan penting yang dapat dikonsumsi segar maupun terproses. Kedua metode konsumsi tersebut dipengaruhi oleh kualitas FnV. Kualitas FnV dipengaruhi oleh beberapa faktor pada sebelum pemanenan hingga sesudah pemanenan. Fisiologi FnV merupakan pengetahuan dasar penting untuk mengetahui pengaruh kondisi internal dan eksternal FnV terhadap kualitas kesegaran FnV pada proses from frarm to table.
Kualitas Pasca-Panen

Pasca-panen adalah masa pemisahan organ tanaman sebagai bahan pangan hingga tahap sebelum pemrosesan, termasuk pengawetan. FnV biasa dikonsumsi dalam bentuk segar, minimally processed, dan terproses. Kualitas bahan baku (segar) akan mempengaruhi kualitas FnV yang sudah diproses. Oleh karena itu, kualitas FnV segar pasca-panen perlu dipertahankan untuk mendapatkan kualitas produk akhir yang baik dan kerusakan FnV segar harus diminimalkan.
Kualitas adalah kombinasi karakteristik, atribut, atau properti yang memberikan nilai komoditas sebagai makanan manusia. Evaluasi mutu yang dilakukan mencakup pengukuran kenampakan, tekstur, aroma, nilai gizi, masa simpan FnV segar, dan yang terpenting adalah keamanan pangan. Atribut mutu spesifik dapat bervariasi dari sifat bahan dan proses yang akan diaplikasikan. Secara umum, atribut mutu terbagi menjadi 3, yaitu atribut:

  1. fisik: ukuran, kerenyahan, keberadaan biji, dsb.
  2. komposisi: jumlah gula dan senyawa volatil.
  3. nutrisi: jumlah vitamin, antioksidan, dan senyawa fungsional.
  4. sensori: warna, tekstur, rasa, aroma, dan bau.

Berikut akan dijelaskan lebih rinci mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas FnV.

Faktor Preharvest


Gen


Kultivar mempengaruhi komposisi, kualitas, potensi penyimpanan, dan respon terhadap karakteristik pengolahan. Misalnya, jenis buah anggur yang digunakan pembuatan wine tidak sama dengan anggur yang dikonsumsi segar. Beberapa syarat yang diacu oleh petani, yaitu rendemen tinggi, tahan terhadap sakit dan cacat, peningkatan nilai nutrisi, penurunan racun yang tidak dikehendaki, dan peningkatan karakteristik pengolahan. Misalnya, FnV transgenic memiliki kecenderungan pencoklatan dan melunak yang lebih rendah, dan peningkatan masa simpan serta keseragaman warna dan aroma.

Iklim


Kondisi iklim pertumbuhan FnV, seperti suhu, kelembaban, cahaya, angin, tekstur tanah, sudut elevasi, dan curah hujan, mempengaruhi kualitas FnV. Durasi, intensitas, dan kualitas cahaya mempengaruhi FnV saat dipanen. Misalnya, pemaparan cahaya matahari pada tanaman jeruk mengakibatkan buah ringan, jumlah asam sedikit, dan kandungan total padatan tinggi. Hal tersebut, juga mempengaruhi fisiologi tanaman. Misalnya, pembentukan antosianin terong ungu dikendalikan oleh cahaya panjang gelombang pendek di sekitar warna biru dan violet.

Perlakuan Pembudidayaan


Kualitas produk FnV juga dipengaruhi oleh tipe tanah, tipe nutrisi dan asupan air, pengguntingan, penipisan, pengendalian hama, dan densitas penamanan. Misalnya, pemberian pupuk mempengaruhi komposisi mineral buah. Penanaman yang terlalu dekat jaraknnya menyebabkan buah menjadi tidak manis. Nutrisi yang tidak seimbang pada tanah dapat menyebabkan cacat fisiologis pada buah. Misalnya, rasio N/K tinggi dan defisiensi P meningkatkan tendensi pencoklatan kentang setelah pemasakan.

Faktor Pemanenan


Tingkat Kematangan


Kematangan FnV ketika dipanen secara langsung mempengaruhi komposisi, kualitas, kerusakan, dan potensi penyimpanan komoditas. Kematangan optimal dapat memaksimalkan masa simpan FnV. Pemanenan pada fase sebelum matang mengakibatkan FnV mudah kisut dan memungkinkan rusak mekanis, serta kualitas yang kurang baik saat mencapai fase matang. Pemanenan saat lewat matang mengakibatkan daging buah lembek, hambar, dan seperti tepung. Secara umum, pemanenan pada masa sebelum atau sesudah masa optimum akan meningkatkan kerentanan terhadap cacat fisiologis dan menurunkan masa simpan FnV.

Tingkat kematangan FnV ditunjukkan oleh beberapa indikasi dari spesifikasi FnV tertentu. Indikator kematangan FnV berviariasi antara jenis, kultivar, dan proses lanjutan. Metode penentuan tingkat kematangan FnV berdasarkan indikator kematangan lebih efektif dengan pengkombinasian. Berikut adalah beberapa bentuk indikasi kematangan FnV.

  1. Kenampakan visual terukur, misalnya ukuran, bentuk, dan warna.
  2. Jumlah hari dari pembungaan hingga pemanenan dan rata-rata jumlah panas selama tahap perkembangan.
  3. Perubahan fisik, misalnya kerenyahan daging buah, densitas, dan keempukan.
  4. Perubahan kimia, misalnya total padatan, keasaman, dan kadar minyak.
  5. Perubahan fisiologis terukur, misalnya kecepatan respirasi dan konsentrasi etilen internal buah.

Metode Pemanenan


Berikut adalah dua macam metode pemanenan FnV.

Metode
Kelebihan
Kelebihan
Manual
1.    Sortasi dan grading akurat.
2.    Kerusakan komoditi minim.
3.    Biaya murah.
4.    Peralatan mekanis berfungsi sebagai alat pembantu.
1.    Membutuhkan manajemen tenaga buruh.
2.    Lambat.

                      
Mekanis
1.    Cepat.
2.    Tenaga kerja dan lebih minim.
1.    Kerusakan mekanis (abrasi kulit dan jaringan memar) tinggi.
2.    Membutuhkan tenaga terlatih.
3.    Lay out dan pola penanaman khusus.

Diperlukan manajemen sistem pemanenan untuk meminimalisir luka jaringan pada FnV. Manajemen perlu dilengkapi dengan pengetahuan waktu pemanenan optimum, pelatihan dan supervisi tenaga kerja, dan prosedur pengendalian mutu yang efektif.

Faktor Pasca-Panen


Kelembaban


FnV berkadar air tinggi dan sebagian besarnya adalah air bebas. Hal ini menyebabkan kehilangan air ke atmosfer, sehingga manifestasi menjadi kehilangan kerenyahan daging buah, kekisutan dan kelayuan. Jaringan menjadi keras ataupun mejadi lunak dan tidak bisa diterima oleh konsumen. Penurunan berat dan sifat sensorik FnV menurunkan nilai jualnya.  Kecepatan dan luasan kehilangan air dipengaruhi oleh :

  1. Rasio luas per volume
  2. Sifat permukaan FnV
  3. Keberadaan kutikula
  4. Jumlah stomata dan lentisel
  5. Periderma ubi dan akar – akaran
  6. Luka jaringan

Kehilangan air dicegah dengan menciptakan lingkungan dengan kelembapan udara (RH) tinggi, suhu rendah, pergerakan udara minimal, peningkatan tekanan, menghindari luka jaringan, sistem pengemasan yang tepat. RH yang lebih tinggi dari RH optimum (kondisi sweating) FnV dapat menyebabkan pembusukan, pertumbuhan jamur, dan cacat fisiologis.

Suhu


Koefisien suhu FnV dapat mengendalikan pembusukan fisiologis dan patologis. Hal ini dapat meningkatkan masa simpan FnV, menghindari penurunan kualitas serta mencegah chiling dan freezing injury. Suhu penyimpanan dapat mempengaruhi sifat fisikokimia FnV dan proses metabolisme enzimatis. Pengaruh suhu terhadap atribut kualitas dinyatakan dengan Q10 .

Komposisi Udara


Komposisi O2, CO2, gas etilen mempengaruhi pembentukan mikrobiologis dan proses fisiologis. Secara umum FnV disimpan pada O2 rendah dan CO2 tinggi, serta suhu rendah. Pengaruh komposisi gas di udara dipengaruhi oleh jenis, kultivar, umur fisiologis suhu, lama penyimpanan, dan komposisi gas.

Cahaya


Pengaturan cahaya dapat mengendalikan sintesis atau degradasi pigmen warna, oksidasi lemak, pertunasan, degradasi vitamin, produksi toksin. Efek negatif cahaya di cegah dengan penyimpanan diruang gelap atau menggunakan pengemas yangdapat mencegah transisi cahaya.

Luka Mekanis


Kontaminasi, peningkatan kecepatan respirasi, reaksi kimia dan enzimatis, pertumbuhan mikroba pembusuk, dan penurunan kualitas FnV dapat disebabkan oleh luka mekanis. Pada fase awal kematangan, beberapa FnV memiliki kemampuan menutup dan menyembuhkan jaringan. Misalnya memar pada jaringan yang telah melebihi toleransi FnV akan menyebabkan pembusukkan dengan proses yang kompleks. Besar kecilnya dampak luka mekanis dipengaruhi oleh kedalaman luka, masa bahan, luasan luka, kekerasan jaringan pada permukaannya

Penyakit Pasca-Panen


Penyakit pasca panen dimulai ketika :

1.    Mikroba terbawa oleh jaringan tanaman pada tahap awal perkembangan.

2.    Fungi atau bakteria masuk ke jaringan melalui kutikula atau natural opening lainnya.

3.    Mikroba masuk melalui luka pada potongan batang ataupun kerusakan pada permukaan.

Penyakit pasca panen dikendalikan dengan pencegahan infeksi, pembasmian infeksi tahap awal,  penggunaan fungisida atau bakterisida, praktek GMP dan HACCP. Mikroba patogen yang biasa terdapat pada FnV adalah bakteri tanah, bakteri enterik, parasit, dan virus.

Proses Fisiologis Pasca-Panen


Ontogeni


Tiap fase pertumbuhan FnV memiliki sifat fisiologis masing-masing yang berbeda, yaitu sebagai berikut.

  1. Perkembangan: pemenuhan susunan morfologis dan kimia jaringan. Pemanenan pada tahap ini mengakibatkan dormansi dan masa simpan FnV rendah.
  2. Muda: perkembangan menuju sifat fisiologis dewasa.
  3. Dewasa: pemenuhan eating quality.
  4. Matang: estetika dan eating quality maksimal.
  5. Kematian: penurunan kualitas FnV.

Beberapa perkembangan yang tidak diharapkan pada pasca-panen FnV adalah pertunasan (karena masa dormansi dan istirahat FnV), pengakaran (karena RH lingkungan tinggi), germinasi (mengakibatkan jaringan melunak dan berpori), pemanjangan struktur, dan penggabungan jaringan tanaman.

Respirasi


Oksidasi substrat bahan pangan secara enzimatis (respirasi) terjadi bersamaan dengan konversi O2 menjadi energi, CO2 ,dan H2O. Rasio konversi tersebut dinyatakan dalam RQ (Respiratory Quotient) yang mengindikasikan substrat yang digunakan, seperti karbohidrat (RQ=1), asam organik dan respirasi anaerobik (RQ>1), dan lipida (RQ>1). Panas yang dihasilkan selama respirasi (90% potensi energy glukosa) dapat meningkatkan suhu komoditas. Traspor electron mitokondria alternative menyebabkan respirasi termogenik yang menyebabkan kehilangan polisakarida. Kecepatan respirasi berkebalikan dengan masa simpan FnV.

Pengaruh respirasi pada kerusakan FnV adalah sebagai berikut.

  1. Pembentukan ATP bersamaan reaksi degradasi biokimiawi.
  2. Kehilangan cadangan makanan FnV.
  3. Akumulasi toksin CO2.
  4. Peningkatan suhu komoditi.

Kecepatan respirasi dipengaruhi oleh faktor, yaitu jumlah substrat; ukuran, bentuk, morfologi sel, dan kematangan; sistem jaringan kulit; volume ruangan antar sel; komposisi kimia jaringan yang berhubungan dengan kelarutan O2 dan CO2; suhu (sesuai Q10); konsentrasi gas etilen, CO2, dan O2; cahaya; transpirasi; aktivitas biologis (misalnya tahap pertumbuhan dan stres); dan pengendali pertumbuhan (misalnya hormon pertumbuhan). Manajemen pasca-panen yang sesuai dapat menurunkan potensi kebusukan komoditi.

Pola Respirasi
Klimakterik
Non-klimakterik
Kecepatan Respirasi Maksimum
Fase matang
Fase Perkembangan
Pemanenan
Fase dewasa
Fase Matang
Sensitivitas Etilen
Tinggi
Rendah
Pertumbuhan setelah Dipanen
Mampu
Tidak mampu, kecuali degreening



O2 rendah dan CO2 tinggi hingga batas toleransi dapat menurunkan kecepatan respirasi, tergantung dari suhu, jenis komoditi, kultivar, umur, dan tingkat kematangan saat dipanen. CO2 terlalu tinggi melemaskan dan merusak FnV. O2 terlalu rendah menyebabkan respirasi anerobik yang menimbulkan proses fermentasi, pembusukan, perubahan tekstur, off-flavor, off-odor, dan off-color. Jaringan yang bertumbuh pada FnV (misalnya meristem) memiliki kecepatan respirasi lebih tinggi dibanding jaringan penyimpan (misalnya buah dewasa). Stres fisik juga dapat meningkatkan kecepatan respirasi dan produksi etilen, dimana etilen akan mempercepat proses respirasi.

Transpirasi


Kehilangan air akibat transpirasi menyebabkan kehilangan masa, dan penurunan kenampakan (kisut dan layu akibat plasmolisis), kualitas tekstur, serta nilai nutrisi. Transpirasi adalah transfer masa uap air dari permukaan buah menuju atmosfer. Kecepatannya berbanding lurus gradient tekanan parsial antara permukaan transfer dan luas permukan; serta berbanding terbalik dengan resistansi FnV berupa tipe jaringan dan keberadaan wax.

Faktor yang mempengaruhi kecepatan transpirasi adalah struktur kulit; ukuran, bentuk, luas permukaan; perbedaan tekanan uap air; kecepatan udara; panas respirasi; tingkat kematangan; efek endotermik respirasi; dan jumlah solute FnV. Kehilangan air biasa terjadi di hidatoda, stomata, sel epidermis, lentisel, trikoma, dan kultikula.

Kehilangan air dipengaruhi oleh jumlah stomata dan trikoma, jenis permukaan, jaringan bawah kulit, serta struktur dan ketebalan wax pada kutikula. Hal ini juga bersesuaian dengan rasio luas permukaan:volume (daun>buah>akar/ubi), suhu, selisih tekanan uap air, dan berkebalikan dengan RH lingkungan.

Tekenan uap atmosfer tergantung pada suhu jaringan dan RH udara, sedangkan tekanan uap bahan tergantung pada suhu akibat kejenuhan. Kecepatan transpirasi dapat ditekan dengan perlakuan hydrocooling (suhu rendah dan RH tinggi). Panas respirasi dan kecepatan udara meningkatkan evaporasi dan menurunkan tekanan uap air.

Volume solut terlarut pada konsentrasi tinggi akan menurunkan tekanan uap air dan kecepatan respirasi. Perbedaan tekanan uap antara jaringan dan atmosfer ( vapor, pressure, devisit / VPD ) dipengaruhi oleh sifat psikometrik udara dan FnV. Kehilangan air diminimalisir dengan menjaga tekanan udara lebih tinggi daripada tekanan atmosfer, suhu rendah, kelembapan rendah, pengemasan yang tepat, dan penggunaan pelapis tahan air.



Pematangan dan Penuaan


Kematangan adalah fase perkembangan jaringan dimana eating quality buah mencapai titik optimal. Penuaan adalah fase yang terprogram secara genetik dan diinduksi oleh beberapa hal seperti luka jaringan, efsisensi nutrisi, kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, penyakit dan hama. Penuaan ditandai dengan jaringan melunak, daun menguning dan poses absisi. Penuaaan dapat diperlambat dengan mengetahui peran etilen, perubahan struktur dinding sel, dan perubahan metabolisme setelah pemanenan.

Kematangan menginduksi perubahan secara struktural, fisika, kimia, nutrisi, biokimia, atau enzimatis, yang dapat bersifat degradatif maupun intensif. Perubahan teknis selam pematangan adalah sebagai berikut:

  1. Penebalan dinding sel dan adhesi.
  2. Peningkatan permeabilitas plasmalema.
  3. Peningkatan ruang antar sel.
  4. Perubahan plastida.
  5. Perubahan klroplas menjadi kromoplas.
  6. Perubahan warna.
  7. Perubahan tekstur.
  8. Pembentukan wax kutikula.
  9. Penebalan kutikula.
  10. Kehilangan kutikula.
  11. Lignifikasi endokarp.

Komposisi kimia mempengaruhi atribut sensori dan morfologi FnV. Jaringan muda mengandung sedikit gula sederhana, sedangkan jaringan daging buah matang mengandung kadar gula lebih tinggi akibat degradasi pati dan asam – asam organik. Senyawa volatil mempengaruhi aroma, rasa, dan warna FnV. Tekstur melunak akibat perubahan komposisi dan struktur dinding sel. Senyawa volatil non respirasi, seperti terpena, asam karboksilat, alkohol, aldehid, senyawa sulfur, amoniak ,dan jasmonat, memiliki pengaruh pada fisiologis dan kualitas sebagai agen anti mikroba dan insektisida.

Beberapa perubahan tingkat seluler mengakibatkan daging buah melunak akibat perubahan kadar air, tekanan turgor, dan konstituen dinding sel. Enzim memodifikasi polisakarida pada dinding sel dan lamela tengah menjadi struktur yang lebih sederhana. Hal tersebut menyebabkan perubahan pada kemampuan membentuk gel, rendemen jus, buih jus, dan perusakan jaringan selama pengolahan.

Pengaruh Fitohormon


Hormon mempengaruhi metabolisme pada tahap perkembangan FnV seperti pematangan, istirahat, dormansi, pengakaran, absisi, pertunasan, pembungaan. Beberapa hormon penting pada FnV adalah etilen, auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat

FnV klimakterik menghasilkan etilen yang lebih tinggi daripada non – klimakterik. Etilen menstimulasi pematangan, degradasi klorofil, germinasi, pembentukan akar, absisi, penuaan, pembungaan, respirasi, dan metabolisme fenilpropanoit. Pengaruh etilen dapat bersifat positif maupun negatif tergantung pada jenis, kultivar, tingkat pematangan, suhu, dan aktivitas hormon yang lainnya. Produksi etilen dapat direduksi dengan penyimpanan suhu rendah, oksigen rendah, menurunkan kecepatan respirasi, dan pencegahan stress, penyakit, transpirasi.

Untuk mengendalikan pengaruh etilen dapat dilakukan dengan mencegah pemaparan, persepsi, respon terhadap etilen. Pemaparan dapat dicegah dengan ventilasi, penghambatan sintesis etilen, dan pembuangan etilen. Selain itu, etilen dapat diblok dengan penggunaan CO2, perak, dan 1-metil siklopropana; penurunan suhu; dan penggunaan kultivar yang tidak sensitif etilen. Respon terhadap etilen dapat dikurangi dengan menurunkan suhu, pengendalian komposisi udara, penghambatan enzim secara genetis atau kimia, dan mengubah sistem sintesis protein.

Cacat Fisiologis


Cacat fisiologis menyebabkan gangguan metabolism akibat ketidakseimbangan nutrisi dan suhu udara. Cacat ini menyebabkan penurunan kualitas sensori dan pembusukan akibat enzimatis dan mikroba pembusuk. Hal yang dapat menginduksi cacat adalah tingkat kematangan, iklim, ukuran, dan perlakuan penanganan. Faktor preharvest seperti jenis, varietas, nutrisi tanah, suhu, dan posisi buah pada tanaman juga mempengaruhi cacat.

Kekurangan mineral dapat menyebabkan cacat fisiologis. Misalnya kekurangan Ca pada apel akan menyebabkan pencoklatan daging buah dan rasa pahit. Suhu terlalu rendah dapat menyebabkan chilling akibat perubahan struktur lemak dan disosiasi protein serta enzim atau freezing injury akibat pembentukan kristal es pada air jaringan FnV. Patogen tanaman juga menyebabkan peningkatan kerentanan FnV terhadap stress.

Suhu yang terlalu tinggi akibat sinar matahari dapat menghilangkan kemampuan untuk matang secara normal, kulit rusak, dan pulp buah menggelap. Hal ini dapat dicegah dengan penyemprotan etoksikuin atau difenilamin. Kadar O2 yang rendah dan CO2 yang tinggi melebihi batas toleransi dapat menimbulkan kecacatan. Kerentanannya dipengaruhi oleh varietas, jumlah panen yang sedikit, konsentrasi CO2, dan lapisan kedap udara alami.

Perubahan Biokimia Lainnya


Perubahan enzimatis dan kimia menyebabkan pelunakan jaringan, off-flavor, kehilangan pigmen, off-color, dan penurunan kualitas. Pelunakan disebabkan oleh hidrolisis enzimatis pati, pectin, dan selulosa. Senyawa fenolat FnV menyebabkan pencoklatan dan penurunan kualitas FnV. Pencoklatan disebabkan oleh dekompartemensi sel, sehingga polifenolase dan substratnya dapat bereaksi. Pencoklatan juga dapat terjadi akibat pemananasan gula. Off-flavor juga dapat disebabkan oleh oksidasi lipida secara enzimatis.


Referensi


Rahman, M. S. (2007). Handbook of Food Preservation. Boca Raton: CRC Press.

Wednesday, April 25, 2012

Garut

Sejumlah besar tanaman akar dan umbi tumbuh di Indonesia. Salah satunya adalah Garut (Maranta arundinacea). Karena tingginya kandungan pati, akar dan umbi memiliki potensial untuk digunakan sebagai sumber alternatif karbohidrat. Sayangnya, selama ini, hanya ubi jalar yang digunakan secara komersial di negara ini. Pati dari sumber lain kurang diberi perhatian oleh baik masyarakat maupun industri pangan. Kebutuhan ekonomi terhadap umbi ini diperkirakan akan meningkat hingga tahun 2020 (Aptindo, 2000). Oleh karena itu, pemahaman terhadap produksi dan pemanfaatkan Garut perlu ditingkatkan.

Arrowroot


Garut merupakan salah satu tanaman herbal yang berasal dari Amerika tropis. Tanaman ini memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai alternative bahan pangan karena kandungan nutrisinya yang tinggi. Garut memiliki kisaran toleransi terhadap kondisi lingkungan yang cukup luas, mulai dari lahan subur hingga lahan kering (Nasution, 2003). Tepung Garut memiliki daya cerna pati yang tinggi dan diaplikasi secara luas dalam bidang pangan, misalahnya sebagai pangan fungsional maupun biskuit. Tak hanya itu, pati Garut juga dapat digunakan sebagai bahan pengisi atau pengental untuk saus dan glazing agent untuk pie buah (Radley, 1976).

Menurut penelitian Arianti (2010), tepung Garut mengandung 7,72±0,01% protein; 62,26±0,27% total pati; 29,39±1,39% amilosa; 32,87±1,73% amilopektin; 33,24±0,78% pati resisten; 62,00±3,51% pati non-resisten; dan 9,37±0,20% air. Rendemen tepung Garut dari 100 gram bahan adalah 32 gram. Daya cerna tepung Garut adalah 65,11±3,87%. Sedangkan, pati Garut mengandung 0,64±0,20% protein; 84,22±4,38% total pati; 21,97±1,35% amilosa; 62,25±2,15% amilopektin; 15,97±0,05% pati resisten; 77,10±4,38% pati non-resisten dan 10,21±0,43% air. Rendemen pati Garut dari 100 gram bahan adalah 12 gram. Daya cerna pati Garut adalah 82,81±0,83%.

Baik tepung mapun pati Garut memiliki kadar protein yang rendah dibanding dengan tepung terigu (Zaidul et al., 2007). Untuk beberapa aplikasi produk pangan, kadar protein tepung terigu terlalu tinggi dan dapat terlarut dengan pati berkadar protein rendah. Misalnya pada kasus pembuatan biskuit. Kadar protein yang dibutuhkan dalam campuran sekitar 7,0 – 8,5% untuk sweet biscuit (Radley, 1976). Oleh karena itu, tepung maupun pati Garut memiliki potensial mensubtitusi tepung terigu secara parsial untuk mendapat komposit tepung dengan kandungan protein yang sesuai dalam banyak aplikasi pangan.

Maranta arudinaceae

 Berdasarkan penelitian Arianti (2010), tepung dan pati Garut mengandung banyak granula kecil dengan ukuran 27,03 μm. Ukuran granula ini mempengaruhi sifat gelatinisasi dan pasting (Table 1) baik tepung maupun patinya. Suhu onset, midpoint, dan akhir gelatinisasi, serta entalpi gelatinisasi tepung Garut berturut-turut adalah 69,63°C; 74,87°C; 80,91°C; 2,92 J/gram pati kering. Sedangkan, untuk pati Garut berturut-turut adalah 65,00°C; 72,54°C; 84,03°C; 11,75 J/gram pati kering. Berikut adalah sifat pasting tepung dan pati Garut.

 
Table 1 Karakteristik Pasting Tepung dan Pati Garut (Arianti, 2010)
Sifat Pasting
Tepung Garut
Pati Garut
Waktu Peak (detik)
415,50±3,73
383,90±0,00
Suhu Pasting (°C)
70,13±0,44
68,72±1,50
Viskositas Peak (cP)
32,11±1,84
18,95±0,28
Holding Strength (cP)
16,35±0,44
11,67±0,28
Breakdown (cP)
15,76±1,42
7,29±0,01
Setback from Peak (cP)
-8,22±0,49
-0,81±0,19
Setback from Through (cP)
7,54±0,94
6,47±0,20
Viskositas Akhir (cP)
23,89±1,35
18,14±0,47

 
Menurut Manikpuri et al. (2010), Garut mengandung 70% protein kasar, 0,2% lemak, 20% pati, 1,2% serat kasar, 1,3% abu, dan 2,1% dekstrin serta gula. Garut digunakan untuk mengobati diare disentri, bronkitis, dan batuk-batuk dalam bentukk tonik. Pati Garut sangat cocok untuk mengganti agar dalam media pertumbuhan jaringan tanaman. Patinya juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup glukosa.

Walaupun merupakan tanaman yang sangat resisten terhadap hama maupun penyakit sekaligus memiliki nilai ekonomi, penelitian mengenai Garut sangat minim, terutama berkenaan dengan senyawa alelokimianya. Peroksidase misalnya. Enzim ini terdapat dalam banyak tanaman dan diasosiasikan dengan bermacam-macam fungsi fisiologis dalam tanaman, dengan peran utama dalam pertahanan dan resistensi terhadap pathogen. Pada saat jaringan Garut, peroksidase terlarut (SoPOD), terikat ion (IoPOD), dan berikatan kovalen (CoPOD) dapat diisolasi dengan buffer sodium fosfat (pH 6,0), NaCl (1,0 M), serta kombinasi perlakuan selulase dan pektinase. Dalam jaringan Garut terdapat 7,24 – 7,86% SoPOD (20,26 kDa), 6,11 – 10,42% IoPOD (18,43 kDa), dan 5,87 – 5,96% CoPOD (19,77 kDa). (Pradeepkumar et al., 2008).

Menurut Seaforth dan Tikasingh (2002), Tanaman Garut dapat setinggi 1 meter. Akar Garut berdaging, putih, dan berpati. Daun Garut saling tumpang tindih berukutan 22 cm x 8 cm. Bunga Garut berwarna putih berukuran 1,3 cm x 8 – 10 mm dan berkapsul 7 – 10 mm. Biji Garut berukuran 8 – 9 mm dan berbuku-buku berawrna merah pucat. Terdapat 2 kultivar yang dibudidayakan di St. Vincent dan Grenadines, yaitu sebagai berikut.

  1. Kultivar Creole menghasilkan akar (umbi) yang panjang, tipis, dan mengakar sangat dalam. Dalam tanah yang tipis, kultivar ini menggunakan akar cigar untuk berkembang. Umbi kultivar ini memliki daya simpan kesegaran hingga 1 minggu,
  2. Kultivar Banana menghasilkan akar yang lebih pendek, lebih tebal, dalam rumpun, dan mengakar dekat permukaan tanah. Umbi kultivar ini memberikan rendemen yang lebih tinggi. Kandungan seratnya sangat rendah, sehingga mudah dalam pemrosesan. Kelemahan umbi kultivar ini adalah cepat membusuk dalam 2 hari.
Pati bersamaan dengan beta-karoten, niasin, dan tiamin terdapat dalam akar yang telah dewasa. Setelah permrosesan, senyawa-senyawa tersebut menjadi pangan yang bernutrisi dan mudah dicerna. Akar yang sudah diekstrak digunakan secara komersial sebagai rubifacient dan emollient. Namun, perbedaan lokasi tumbuh Garut menjadi penting karena mempengaruhi kandungan kimianya (Table 2) (Erdman, 1986).


Table 2 Analisis Proksimat, Energi Total, Daya Cerna, Sifat Pati, Sifat Pasting, dan Calorimetry Pati Garut
Pengukuran
Garut dari Tifton
Garut dari St. Vincent
Protein (%)
0,12±0,01
0,27±0,01
Lemak (%)
0,36±0,05
0,28±0,03
Abu (%)
5,20±0,56
2,41±0,57
Energi Total (cal/g)
4026,63±3,22
4148,31±14,80
Daya cerna in-vitro (%)
55,55±0,38
60,33±0,13
Air (%)
14,9
8,6
Pati (%)
96,7
94,4
Afinitas Iodin (mg I2/100 mg pati)
3,78
3,97
Amilosa (%)
19,0
19,9
Suhu Pasting (°C)
72,7
75,9
Peak (cP)
410
337
Final (95°C) (cP)
373
240
Breakdown (95°C 30 menit) (cP)
625
393
Cooled down (50°C) (cP)
215
56
Final (50°C) (cP)
598
397
Entalpi (cal/g)
4,49
4,64
Suhu Awal (°K)
334,0
338,0
Suhu Peak (°K)
338
347
Suhu Akhir (°K)
358,8
359


Serat pangan dan oligosakarida dalam tepung Garut juga diteliti oleh Harmayani et al. (2011). Tepung tersebut mengandung 14,86% serat pangan, 396,9 ppm rafinosa, 270,8 ppm laktulosam dan sedikit stakiosa (<56 ppm). Berdasarkan studi in vivo, tepung Garut juga meningkatkan jumlah bakteri asam laktat secara signifikan (P<0,05). Sedangkan, tepung Garut tidak berpengaruh pada jumlah populasi bifidobakteri, E. coli, dan Clostridium perfringens. Selain itu, kombinasi pH rendah, kadar air tinggim dan asam butirat tinggi dapat memberikan pengaruh daya cerna lebih tinggi terhadap tepung Garut.

Referensi


Aprianita. (2010). Physicochemical Properties of Flours and Starches Derived from Traditional Indonesian Tubers and Roots. In Aprianita, Assessment of Underutilized Starchy Roots and Tubers for Their Applications in The Food Industry (pp. 65-90). Victoria: Victoria University.
Erdman, M. D. (1986). Starch from Arrowroot (Maranta arundinacea) Grown at Tifton, Georgia. Cereal Chemistry , 63 (3), 277-279.
Harmayani, E., Kumalasari, I. D., & Marsono, Y. (2011). Effect of Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Diet on The Selected Bacterial Population and Chemical Properties of Caecal Digesta of Sprague Dawley Rats. International Research Journal of Microbiology , 2 (8), 278-284.
Manikpuri, N., Jain, S. K., & Kujur, M. (2010). Phytochemical Investigation of Bioactive Constituent of Some Medicinal Plants. International Research Journal , 2 (13), 37-38.
Nasution. (n.d.). The Strategy to Overcome Food Instability in Indonesia. Retrieved Januari 23, 2012, from http://www.bppt.go.id
Pradeepkumar, S., Nair, G. M., & Padmaja, G. (2008). Purification and Characterization of Peroxidases from Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Leaves. Journal of Root Crops , 34 (2), 161-171.
Radley, J. A. (1976). Industrial Uses of Starch and its Derivatives. London: Applied Science Publishers.
Seaforth, C., & Tikasingh, T. (2002). A Study for The Development of A Handbook of Selected Caribbean Herbs for Industry. Carribean: Technical Centre for Agricultural and Rural Cooperation.
Vimala, B., & Nambisan, B. (2005, Desember). West Indian Arrowroot (Maranta arundinacea L.). Tropical Minor Tuber Crops , pp. 11-12.
Zaidul, I., Norulaini, N., Omar, A., Yamauchi, H., & Noda, T. (2007). RVA Analysis of Mixtures of Wheat Flour and Potato, Sweet Potato, Yam and Cassava Starches. Carbohydrate Polymers , 69, 784-791.