Sejumlah besar tanaman akar dan umbi tumbuh di Indonesia.
Salah satunya adalah Garut (Maranta arundinacea). Karena tingginya kandungan pati, akar dan umbi memiliki potensial
untuk digunakan sebagai sumber alternatif karbohidrat. Sayangnya, selama ini,
hanya ubi jalar yang digunakan secara komersial di negara ini. Pati dari sumber
lain kurang diberi perhatian oleh baik masyarakat maupun industri pangan.
Kebutuhan ekonomi terhadap umbi ini diperkirakan akan meningkat hingga tahun
2020 (Aptindo, 2000). Oleh karena itu, pemahaman terhadap produksi dan
pemanfaatkan Garut perlu ditingkatkan.
Arrowroot |
Garut merupakan salah satu tanaman herbal yang berasal dari
Amerika tropis. Tanaman ini memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai
alternative bahan pangan karena kandungan nutrisinya yang tinggi. Garut
memiliki kisaran toleransi terhadap kondisi lingkungan yang cukup luas, mulai
dari lahan subur hingga lahan kering (Nasution, 2003). Tepung Garut memiliki
daya cerna pati yang tinggi dan diaplikasi secara luas dalam bidang pangan,
misalahnya sebagai pangan fungsional maupun biskuit. Tak hanya itu, pati Garut
juga dapat digunakan sebagai bahan pengisi atau pengental untuk saus dan glazing agent untuk pie buah (Radley, 1976).
Menurut penelitian Arianti (2010), tepung Garut mengandung
7,72±0,01% protein;
62,26±0,27% total pati;
29,39±1,39% amilosa;
32,87±1,73% amilopektin;
33,24±0,78% pati
resisten; 62,00±3,51%
pati non-resisten; dan 9,37±0,20%
air. Rendemen tepung Garut dari 100 gram bahan adalah 32 gram. Daya cerna
tepung Garut adalah 65,11±3,87%.
Sedangkan, pati Garut mengandung 0,64±0,20%
protein; 84,22±4,38%
total pati; 21,97±1,35%
amilosa; 62,25±2,15%
amilopektin; 15,97±0,05%
pati resisten; 77,10±4,38%
pati non-resisten dan 10,21±0,43%
air. Rendemen pati Garut dari 100 gram bahan adalah 12 gram. Daya cerna pati
Garut adalah 82,81±0,83%.
Baik tepung mapun pati Garut memiliki kadar protein yang
rendah dibanding dengan tepung terigu (Zaidul et al., 2007). Untuk beberapa aplikasi produk pangan, kadar protein
tepung terigu terlalu tinggi dan dapat terlarut dengan pati berkadar protein
rendah. Misalnya pada kasus pembuatan biskuit. Kadar protein yang dibutuhkan
dalam campuran sekitar 7,0 – 8,5% untuk sweet
biscuit (Radley, 1976). Oleh karena itu, tepung maupun pati Garut memiliki potensial
mensubtitusi tepung terigu secara parsial untuk mendapat komposit tepung dengan
kandungan protein yang sesuai dalam banyak aplikasi pangan.
Maranta arudinaceae |
Berdasarkan penelitian Arianti (2010), tepung dan pati Garut
mengandung banyak granula kecil dengan ukuran 27,03 μm. Ukuran granula ini mempengaruhi sifat gelatinisasi
dan pasting (Table 1) baik tepung
maupun patinya. Suhu onset, midpoint, dan
akhir gelatinisasi, serta entalpi gelatinisasi tepung Garut berturut-turut
adalah 69,63°C; 74,87°C; 80,91°C; 2,92 J/gram pati kering. Sedangkan, untuk
pati Garut berturut-turut adalah 65,00°C; 72,54°C; 84,03°C; 11,75 J/gram pati
kering. Berikut adalah sifat pasting
tepung dan pati Garut.
Table 1 Karakteristik Pasting Tepung dan Pati Garut (Arianti,
2010)
Sifat Pasting
|
Tepung
Garut
|
Pati Garut
|
Waktu Peak (detik)
|
415,50±3,73
|
383,90±0,00
|
Suhu Pasting (°C)
|
70,13±0,44
|
68,72±1,50
|
Viskositas Peak (cP)
|
32,11±1,84
|
18,95±0,28
|
Holding Strength
(cP)
|
16,35±0,44
|
11,67±0,28
|
Breakdown (cP)
|
15,76±1,42
|
7,29±0,01
|
Setback from Peak
(cP)
|
-8,22±0,49
|
-0,81±0,19
|
Setback from Through
(cP)
|
7,54±0,94
|
6,47±0,20
|
Viskositas Akhir (cP)
|
23,89±1,35
|
18,14±0,47
|
Menurut Manikpuri et
al. (2010), Garut mengandung 70% protein kasar, 0,2% lemak, 20% pati, 1,2%
serat kasar, 1,3% abu, dan 2,1% dekstrin serta gula. Garut digunakan untuk
mengobati diare disentri, bronkitis, dan batuk-batuk dalam bentukk tonik. Pati
Garut sangat cocok untuk mengganti agar dalam media pertumbuhan jaringan
tanaman. Patinya juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup
glukosa.
Walaupun merupakan tanaman yang sangat resisten terhadap
hama maupun penyakit sekaligus memiliki nilai ekonomi, penelitian mengenai
Garut sangat minim, terutama berkenaan dengan senyawa alelokimianya. Peroksidase
misalnya. Enzim ini terdapat dalam banyak tanaman dan diasosiasikan dengan
bermacam-macam fungsi fisiologis dalam tanaman, dengan peran utama dalam
pertahanan dan resistensi terhadap pathogen. Pada saat jaringan Garut,
peroksidase terlarut (SoPOD), terikat ion (IoPOD), dan berikatan kovalen
(CoPOD) dapat diisolasi dengan buffer sodium fosfat (pH 6,0), NaCl (1,0 M),
serta kombinasi perlakuan selulase dan pektinase. Dalam jaringan Garut terdapat
7,24 – 7,86% SoPOD (20,26 kDa), 6,11 – 10,42% IoPOD (18,43 kDa), dan 5,87 –
5,96% CoPOD (19,77 kDa). (Pradeepkumar et
al., 2008).
Menurut Seaforth dan Tikasingh (2002), Tanaman Garut dapat
setinggi 1 meter. Akar Garut berdaging, putih, dan berpati. Daun Garut saling
tumpang tindih berukutan 22 cm x 8 cm. Bunga Garut berwarna putih berukuran 1,3
cm x 8 – 10 mm dan berkapsul 7 – 10 mm. Biji Garut berukuran 8 – 9 mm dan
berbuku-buku berawrna merah pucat. Terdapat 2 kultivar yang dibudidayakan di
St. Vincent dan Grenadines, yaitu sebagai berikut.
- Kultivar Creole menghasilkan akar (umbi) yang panjang, tipis, dan mengakar sangat dalam. Dalam tanah yang tipis, kultivar ini menggunakan akar cigar untuk berkembang. Umbi kultivar ini memliki daya simpan kesegaran hingga 1 minggu,
- Kultivar Banana menghasilkan akar yang lebih pendek, lebih tebal, dalam rumpun, dan mengakar dekat permukaan tanah. Umbi kultivar ini memberikan rendemen yang lebih tinggi. Kandungan seratnya sangat rendah, sehingga mudah dalam pemrosesan. Kelemahan umbi kultivar ini adalah cepat membusuk dalam 2 hari.
Pati bersamaan dengan beta-karoten, niasin, dan tiamin
terdapat dalam akar yang telah dewasa. Setelah permrosesan, senyawa-senyawa
tersebut menjadi pangan yang bernutrisi dan mudah dicerna. Akar yang sudah
diekstrak digunakan secara komersial sebagai rubifacient dan emollient.
Namun, perbedaan lokasi tumbuh Garut menjadi penting karena mempengaruhi
kandungan kimianya (Table 2) (Erdman, 1986).
Table 2 Analisis Proksimat, Energi
Total, Daya Cerna, Sifat Pati, Sifat Pasting,
dan Calorimetry Pati Garut
Pengukuran
|
Garut dari
Tifton
|
Garut dari
St. Vincent
|
Protein (%)
|
0,12±0,01
|
0,27±0,01
|
Lemak (%)
|
0,36±0,05
|
0,28±0,03
|
Abu (%)
|
5,20±0,56
|
2,41±0,57
|
Energi Total (cal/g)
|
4026,63±3,22
|
4148,31±14,80
|
Daya cerna in-vitro (%)
|
55,55±0,38
|
60,33±0,13
|
Air (%)
|
14,9
|
8,6
|
Pati (%)
|
96,7
|
94,4
|
Afinitas Iodin (mg I2/100
mg pati)
|
3,78
|
3,97
|
Amilosa (%)
|
19,0
|
19,9
|
Suhu Pasting (°C)
|
72,7
|
75,9
|
Peak (cP)
|
410
|
337
|
Final (95°C) (cP)
|
373
|
240
|
Breakdown (95°C 30
menit) (cP)
|
625
|
393
|
Cooled down (50°C)
(cP)
|
215
|
56
|
Final (50°C) (cP)
|
598
|
397
|
Entalpi (cal/g)
|
4,49
|
4,64
|
Suhu Awal (°K)
|
334,0
|
338,0
|
Suhu Peak (°K)
|
338
|
347
|
Suhu Akhir (°K)
|
358,8
|
359
|
Serat pangan dan oligosakarida dalam tepung Garut juga
diteliti oleh Harmayani et al.
(2011). Tepung tersebut mengandung 14,86% serat pangan, 396,9 ppm rafinosa,
270,8 ppm laktulosam dan sedikit stakiosa (<56 ppm). Berdasarkan studi in
vivo, tepung Garut juga meningkatkan jumlah bakteri asam laktat secara
signifikan (P<0,05). Sedangkan, tepung Garut tidak berpengaruh pada jumlah populasi
bifidobakteri, E. coli, dan Clostridium perfringens. Selain itu,
kombinasi pH rendah, kadar air tinggim dan asam butirat tinggi dapat memberikan
pengaruh daya cerna lebih tinggi terhadap tepung Garut.
Referensi
Aprianita. (2010). Physicochemical Properties of Flours and
Starches Derived from Traditional Indonesian Tubers and Roots. In Aprianita, Assessment of
Underutilized Starchy Roots and Tubers for Their Applications in The Food
Industry (pp. 65-90). Victoria: Victoria University.
Erdman, M. D. (1986). Starch from Arrowroot (Maranta arundinacea)
Grown at Tifton, Georgia. Cereal Chemistry , 63 (3), 277-279.
Harmayani, E., Kumalasari,
I. D., & Marsono, Y. (2011). Effect
of Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Diet on The Selected Bacterial Population
and Chemical Properties of Caecal Digesta of Sprague Dawley Rats. International
Research Journal of Microbiology , 2 (8), 278-284.
Manikpuri, N., Jain, S. K.,
& Kujur, M. (2010). Phytochemical
Investigation of Bioactive Constituent of Some Medicinal Plants. International
Research Journal , 2 (13), 37-38.
Nasution. (n.d.). The
Strategy to Overcome Food Instability in Indonesia. Retrieved
Januari 23, 2012, from http://www.bppt.go.id
Pradeepkumar, S., Nair, G.
M., & Padmaja, G. (2008). Purification
and Characterization of Peroxidases from Arrowroot (Maranta arundinacea L.)
Leaves. Journal of Root Crops , 34 (2), 161-171.
Radley, J. A. (1976). Industrial
Uses of Starch and its Derivatives. London: Applied Science
Publishers.
Seaforth, C., &
Tikasingh, T. (2002). A Study for The Development of A Handbook of
Selected Caribbean Herbs for Industry. Carribean: Technical
Centre for Agricultural and Rural Cooperation.
Vimala, B., & Nambisan,
B. (2005, Desember). West Indian
Arrowroot (Maranta arundinacea L.). Tropical Minor Tuber Crops , pp.
11-12.
Zaidul, I., Norulaini, N.,
Omar, A., Yamauchi, H., & Noda, T. (2007). RVA Analysis of Mixtures of Wheat Flour and Potato, Sweet Potato, Yam
and Cassava Starches. Carbohydrate Polymers , 69, 784-791.