Wednesday, April 25, 2012

Garut

Sejumlah besar tanaman akar dan umbi tumbuh di Indonesia. Salah satunya adalah Garut (Maranta arundinacea). Karena tingginya kandungan pati, akar dan umbi memiliki potensial untuk digunakan sebagai sumber alternatif karbohidrat. Sayangnya, selama ini, hanya ubi jalar yang digunakan secara komersial di negara ini. Pati dari sumber lain kurang diberi perhatian oleh baik masyarakat maupun industri pangan. Kebutuhan ekonomi terhadap umbi ini diperkirakan akan meningkat hingga tahun 2020 (Aptindo, 2000). Oleh karena itu, pemahaman terhadap produksi dan pemanfaatkan Garut perlu ditingkatkan.

Arrowroot


Garut merupakan salah satu tanaman herbal yang berasal dari Amerika tropis. Tanaman ini memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai alternative bahan pangan karena kandungan nutrisinya yang tinggi. Garut memiliki kisaran toleransi terhadap kondisi lingkungan yang cukup luas, mulai dari lahan subur hingga lahan kering (Nasution, 2003). Tepung Garut memiliki daya cerna pati yang tinggi dan diaplikasi secara luas dalam bidang pangan, misalahnya sebagai pangan fungsional maupun biskuit. Tak hanya itu, pati Garut juga dapat digunakan sebagai bahan pengisi atau pengental untuk saus dan glazing agent untuk pie buah (Radley, 1976).

Menurut penelitian Arianti (2010), tepung Garut mengandung 7,72±0,01% protein; 62,26±0,27% total pati; 29,39±1,39% amilosa; 32,87±1,73% amilopektin; 33,24±0,78% pati resisten; 62,00±3,51% pati non-resisten; dan 9,37±0,20% air. Rendemen tepung Garut dari 100 gram bahan adalah 32 gram. Daya cerna tepung Garut adalah 65,11±3,87%. Sedangkan, pati Garut mengandung 0,64±0,20% protein; 84,22±4,38% total pati; 21,97±1,35% amilosa; 62,25±2,15% amilopektin; 15,97±0,05% pati resisten; 77,10±4,38% pati non-resisten dan 10,21±0,43% air. Rendemen pati Garut dari 100 gram bahan adalah 12 gram. Daya cerna pati Garut adalah 82,81±0,83%.

Baik tepung mapun pati Garut memiliki kadar protein yang rendah dibanding dengan tepung terigu (Zaidul et al., 2007). Untuk beberapa aplikasi produk pangan, kadar protein tepung terigu terlalu tinggi dan dapat terlarut dengan pati berkadar protein rendah. Misalnya pada kasus pembuatan biskuit. Kadar protein yang dibutuhkan dalam campuran sekitar 7,0 – 8,5% untuk sweet biscuit (Radley, 1976). Oleh karena itu, tepung maupun pati Garut memiliki potensial mensubtitusi tepung terigu secara parsial untuk mendapat komposit tepung dengan kandungan protein yang sesuai dalam banyak aplikasi pangan.

Maranta arudinaceae

 Berdasarkan penelitian Arianti (2010), tepung dan pati Garut mengandung banyak granula kecil dengan ukuran 27,03 μm. Ukuran granula ini mempengaruhi sifat gelatinisasi dan pasting (Table 1) baik tepung maupun patinya. Suhu onset, midpoint, dan akhir gelatinisasi, serta entalpi gelatinisasi tepung Garut berturut-turut adalah 69,63°C; 74,87°C; 80,91°C; 2,92 J/gram pati kering. Sedangkan, untuk pati Garut berturut-turut adalah 65,00°C; 72,54°C; 84,03°C; 11,75 J/gram pati kering. Berikut adalah sifat pasting tepung dan pati Garut.

 
Table 1 Karakteristik Pasting Tepung dan Pati Garut (Arianti, 2010)
Sifat Pasting
Tepung Garut
Pati Garut
Waktu Peak (detik)
415,50±3,73
383,90±0,00
Suhu Pasting (°C)
70,13±0,44
68,72±1,50
Viskositas Peak (cP)
32,11±1,84
18,95±0,28
Holding Strength (cP)
16,35±0,44
11,67±0,28
Breakdown (cP)
15,76±1,42
7,29±0,01
Setback from Peak (cP)
-8,22±0,49
-0,81±0,19
Setback from Through (cP)
7,54±0,94
6,47±0,20
Viskositas Akhir (cP)
23,89±1,35
18,14±0,47

 
Menurut Manikpuri et al. (2010), Garut mengandung 70% protein kasar, 0,2% lemak, 20% pati, 1,2% serat kasar, 1,3% abu, dan 2,1% dekstrin serta gula. Garut digunakan untuk mengobati diare disentri, bronkitis, dan batuk-batuk dalam bentukk tonik. Pati Garut sangat cocok untuk mengganti agar dalam media pertumbuhan jaringan tanaman. Patinya juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup glukosa.

Walaupun merupakan tanaman yang sangat resisten terhadap hama maupun penyakit sekaligus memiliki nilai ekonomi, penelitian mengenai Garut sangat minim, terutama berkenaan dengan senyawa alelokimianya. Peroksidase misalnya. Enzim ini terdapat dalam banyak tanaman dan diasosiasikan dengan bermacam-macam fungsi fisiologis dalam tanaman, dengan peran utama dalam pertahanan dan resistensi terhadap pathogen. Pada saat jaringan Garut, peroksidase terlarut (SoPOD), terikat ion (IoPOD), dan berikatan kovalen (CoPOD) dapat diisolasi dengan buffer sodium fosfat (pH 6,0), NaCl (1,0 M), serta kombinasi perlakuan selulase dan pektinase. Dalam jaringan Garut terdapat 7,24 – 7,86% SoPOD (20,26 kDa), 6,11 – 10,42% IoPOD (18,43 kDa), dan 5,87 – 5,96% CoPOD (19,77 kDa). (Pradeepkumar et al., 2008).

Menurut Seaforth dan Tikasingh (2002), Tanaman Garut dapat setinggi 1 meter. Akar Garut berdaging, putih, dan berpati. Daun Garut saling tumpang tindih berukutan 22 cm x 8 cm. Bunga Garut berwarna putih berukuran 1,3 cm x 8 – 10 mm dan berkapsul 7 – 10 mm. Biji Garut berukuran 8 – 9 mm dan berbuku-buku berawrna merah pucat. Terdapat 2 kultivar yang dibudidayakan di St. Vincent dan Grenadines, yaitu sebagai berikut.

  1. Kultivar Creole menghasilkan akar (umbi) yang panjang, tipis, dan mengakar sangat dalam. Dalam tanah yang tipis, kultivar ini menggunakan akar cigar untuk berkembang. Umbi kultivar ini memliki daya simpan kesegaran hingga 1 minggu,
  2. Kultivar Banana menghasilkan akar yang lebih pendek, lebih tebal, dalam rumpun, dan mengakar dekat permukaan tanah. Umbi kultivar ini memberikan rendemen yang lebih tinggi. Kandungan seratnya sangat rendah, sehingga mudah dalam pemrosesan. Kelemahan umbi kultivar ini adalah cepat membusuk dalam 2 hari.
Pati bersamaan dengan beta-karoten, niasin, dan tiamin terdapat dalam akar yang telah dewasa. Setelah permrosesan, senyawa-senyawa tersebut menjadi pangan yang bernutrisi dan mudah dicerna. Akar yang sudah diekstrak digunakan secara komersial sebagai rubifacient dan emollient. Namun, perbedaan lokasi tumbuh Garut menjadi penting karena mempengaruhi kandungan kimianya (Table 2) (Erdman, 1986).


Table 2 Analisis Proksimat, Energi Total, Daya Cerna, Sifat Pati, Sifat Pasting, dan Calorimetry Pati Garut
Pengukuran
Garut dari Tifton
Garut dari St. Vincent
Protein (%)
0,12±0,01
0,27±0,01
Lemak (%)
0,36±0,05
0,28±0,03
Abu (%)
5,20±0,56
2,41±0,57
Energi Total (cal/g)
4026,63±3,22
4148,31±14,80
Daya cerna in-vitro (%)
55,55±0,38
60,33±0,13
Air (%)
14,9
8,6
Pati (%)
96,7
94,4
Afinitas Iodin (mg I2/100 mg pati)
3,78
3,97
Amilosa (%)
19,0
19,9
Suhu Pasting (°C)
72,7
75,9
Peak (cP)
410
337
Final (95°C) (cP)
373
240
Breakdown (95°C 30 menit) (cP)
625
393
Cooled down (50°C) (cP)
215
56
Final (50°C) (cP)
598
397
Entalpi (cal/g)
4,49
4,64
Suhu Awal (°K)
334,0
338,0
Suhu Peak (°K)
338
347
Suhu Akhir (°K)
358,8
359


Serat pangan dan oligosakarida dalam tepung Garut juga diteliti oleh Harmayani et al. (2011). Tepung tersebut mengandung 14,86% serat pangan, 396,9 ppm rafinosa, 270,8 ppm laktulosam dan sedikit stakiosa (<56 ppm). Berdasarkan studi in vivo, tepung Garut juga meningkatkan jumlah bakteri asam laktat secara signifikan (P<0,05). Sedangkan, tepung Garut tidak berpengaruh pada jumlah populasi bifidobakteri, E. coli, dan Clostridium perfringens. Selain itu, kombinasi pH rendah, kadar air tinggim dan asam butirat tinggi dapat memberikan pengaruh daya cerna lebih tinggi terhadap tepung Garut.

Referensi


Aprianita. (2010). Physicochemical Properties of Flours and Starches Derived from Traditional Indonesian Tubers and Roots. In Aprianita, Assessment of Underutilized Starchy Roots and Tubers for Their Applications in The Food Industry (pp. 65-90). Victoria: Victoria University.
Erdman, M. D. (1986). Starch from Arrowroot (Maranta arundinacea) Grown at Tifton, Georgia. Cereal Chemistry , 63 (3), 277-279.
Harmayani, E., Kumalasari, I. D., & Marsono, Y. (2011). Effect of Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Diet on The Selected Bacterial Population and Chemical Properties of Caecal Digesta of Sprague Dawley Rats. International Research Journal of Microbiology , 2 (8), 278-284.
Manikpuri, N., Jain, S. K., & Kujur, M. (2010). Phytochemical Investigation of Bioactive Constituent of Some Medicinal Plants. International Research Journal , 2 (13), 37-38.
Nasution. (n.d.). The Strategy to Overcome Food Instability in Indonesia. Retrieved Januari 23, 2012, from http://www.bppt.go.id
Pradeepkumar, S., Nair, G. M., & Padmaja, G. (2008). Purification and Characterization of Peroxidases from Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Leaves. Journal of Root Crops , 34 (2), 161-171.
Radley, J. A. (1976). Industrial Uses of Starch and its Derivatives. London: Applied Science Publishers.
Seaforth, C., & Tikasingh, T. (2002). A Study for The Development of A Handbook of Selected Caribbean Herbs for Industry. Carribean: Technical Centre for Agricultural and Rural Cooperation.
Vimala, B., & Nambisan, B. (2005, Desember). West Indian Arrowroot (Maranta arundinacea L.). Tropical Minor Tuber Crops , pp. 11-12.
Zaidul, I., Norulaini, N., Omar, A., Yamauchi, H., & Noda, T. (2007). RVA Analysis of Mixtures of Wheat Flour and Potato, Sweet Potato, Yam and Cassava Starches. Carbohydrate Polymers , 69, 784-791.