Monday, February 27, 2012

Minyak Kulit Beras (Rice Bran Oil)


Minyak kulit beras (MKB) sangat digemari oleh penduduk Jepang karena rasa dan aroma khasnya.  MKB diperkenalkan di Amerika setelah Perang Dunia II sebagai sumber penghasilan tambahan pada industri penggilingan beras. Dewasa ini, MKB diidentifikasi sebagai minyak yang mampu mereduksi kolesterol. Pengembangan produksi MKB tidak terlalu diminati negara-negara berkembang karena biaya ekstraksi yang membutukan modal besar. MKB merupakan konstituen minor dari padi dibandingkan kadar karbohidrat dan proteinnya. Lipida beras terdapat pada endosperma (70% padi) dan kulit beras (10% padi). Lipida internal berkontribusi sebagai pembentuk kualitas nutrisional, fungsional, dan sensori beras.

Struktur Biji Padi

Lipida padi berbentuk sperosom (droplet) berdiameter maksimal 1,5 mm dalam aleuron dan maksimal 0,7 mm dalam embrio biji beras. Sebagian besar lipida terikat dengan molekul lain dan membentuk lipida pati maupun non-pati. Lipida pati umumnya terdapat di endosperma dan didominasi oleh lisofosfolipid (lisofosfatidiletanolamin dan lisofosfatidilkolin); triasilgliserol; asam lemak bebas (palmitat, linoleat, dan oleat); monoasilgliserol; diasilgliserol; sterol; glikolipid. Lipida non-pati lebih mudah ditemukan pada aleuron, subaleuron, dan lapisan germ.

Komposisi Kimia Minyak Kulit Beras

MKB mengandung 20,1% total lipida, 89,2%  lipida netral, 6,8% glikolipid, dan 4,0% fosfolipida. Sebuah senyawa penyusun MKB yang fungsional adalah γ-orizanol (1,5% - 2,9%). Dalam stuktur alami, senyawa ini tercampur dalam asam ferulat (Gambar 2).  Kandungan orizanol tergantung pada variasi biji beras dengan biji besar pada 6,42 mg/g dan biji kecil pada 5,17 mg/g.

Orizanol

Tokoferol dan tokotrienol juga terdapat dalam MKB. Dalam 100 gram MKB kasar, terdapat 19 – 46 mg α-tokoferol, 1 – 3 mg β-tokoferol, 1 – 10 γ-tokoferol, 0,4 – 0,9 mg δ-tokoferol, 14 – 33 mg α-tokotrienol, dan 9 – 69 mg γ-tokotrienol. Rata-rata kadar tokol adalah 93 mg/100 gram minyak kasar dan 50 mg/100 gram minyak murni. Varietas dan proses penggilingan beras dapat memvariasi jumlah tokol. Penyimpanan, stabilisasi, dan ekstraksi MKB mempengaruhi kadar tokol. γ- tokotrienol merupakan tokol yang paling stabil selama penyimpanan.


Wax juga terdapat dalam MKB dalam bentuk ester asam lemak rantai panjang dengan gugus alkohol, methanol, dan etanol. Berdasarkan hasil analisis profil asam lemak, MKB didominasi oleh asam beralkil ester panjang [behenat (C:22), lignoceric (C:24), dan palmitat (C:16)] ; beralkil pendek [oleat dan palmitat]; dan alkohol beralkil ester panjang [tetratriakontanol (C34:0); triakontanol (C30:0); dotriakontanol (C:32:0); oktakosanol (C28:0); tetrakosanol (C24:0)]. Alkana rantai lurus, alkena, dan alkena bercabang (squalena) terdapat dalam fraksi hidrokarbon. Kadar squalena adalah 120 mg/100 gram. Hard wax dan soft wax dapat diekstrak dari MKB pada titik leleh berturut-turut  79,5°C dan 74°C.

Stabilitas Minyak Kulit Beras

Kulit beras mengandung enzim endogen aktif. Germ dan lapisan terluar kariopsis memiliki aktivitas enzim yang lebih tinggi. Beberapa enzim tersebut adalah α-amilase, β-amilase, askorbat oksidase, katalase, sitokrom oksidase, dehidrogenase, deoksiribonuklease, esterase, flavin oksidase, α dan β-glikosidase, invertase, lesitinase, lipase, lipoksigenase, pektinase, peroksidase, fosfatase, fitase, proteinase, dan suksinat dehidrogenase. Di antara enzim-enzim tersebut, lipase, lipoksigenase, dan peroksidase merupakan enzim yang berpengaruh pada masa simpan MKB.

Lipase terdapat pada lapisan testa dan menghidrolisis MKB menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Selama penggilingan, enzim dan substrat dapat bertemu. Kecepatan pembentukan asam lemak bebas sangat tergantung pada kondisi lingkungan. Lipoksigenase berasosiasi dengan oksidasi asam lemak tak jenuh (PUFA) yang memiliki struktur cis, cis-pentadiena. Karbonil terbentuk dari degradasi heksanal yang menyebabkan bau apek pada beras. Aktivitas lipoksigenase tertinggi terdapat pada fraksi germ. Peroksidase juga dapat meningkatkan bilangan peroksida dan bilangan tiobarbiturat MKB.

Tujuan utama stabilisasi MKB adalah inaktifasi enzim-enzim diatas. Namun, proses stabilisasi memberikan efek lain seperti meningkatkan efisiensi ekstraksi minyak, mereduksi pengotor minyak kasar, mensterilisasi kulit beras, dan mereduksi pembentukan warna. Suhu inaktifasi pada kadar air 4% enzim lipoksigenase pada 40°C, lipase pada 55°C, dan peroksidase pada 70°C. Beberapa metode stabilisasi MKB yaitu pemanasan kering, pemanasan basah, dan ekstrusi. Metode terpraktis yang digunakan dalam industri adalah metode ekstrusi atau ekspansi.

Ekstraksi Minyak Kulit Beras




MKB dengan kandungan asam lemak bebas rendah dapat diekstraksi dengan heksana dari kulit beras yang telah distabilisasi dengan ekstrusi. Pengolahan pendahuluan pada kulit beras menggunakan ekstruder menyebabkan perubahan bentuk menjadi flake atau pellet. Hal ini dapat meningkatkan aliran pelarut dalam ekstraktor. Flake dengan 7-12% lolos ayakan 25 mesh dapat diperkolasi dalam ekstraktor 60 cm dengan kecepatan 563-620 L/m2/menit. Kecepatan ekstraksi dapat tinggi dengan 96% minyak tereskstrak dalam 5 menit dan meninggalkan 0,7% residu setelah 1 jam ekstraksi.
Metode konvensional penduduk Jepang untuk mengekstrak MKB adalah hydraulic pressing. Bahan baku dibersihkan dengan pengayakan. Pemisahan sekam ter hadap biji utuh maupun pecah dan mendapatkan germ menggunakan peniupan udara. Kulit beras dimasak dengan uap jenuh, dikeringkan, ditekan secara manual, dan ditekan dengan expeller. Ekstraksi MKB menggunakan metode supercritical fluid menghasilkan residu yang sangat kecil. Rendemen minyak yang didapat dari metode supercritical CO2, CO2-etanol, dan heksana berturut-turut  adalah 17,98%, 18,23%,  dan 20,21%.

Antibacterial Activity of Golden Teak Leaves Crude Extract (Tectona grandis) Using Microwave-Assisted Extraction Againts Escherichia coli and Staphylococcus aureus


Teak leaf (Tectona grandis) is common tropical tree leaf in Indonesia dan the main forestry industrial organic waste problem. Researchers have revealed active phenolic compounds of Teak leave extract and so is its antimicrobial activity, such as tectoquinone, tannic acid, dan gallic acid. In recent years, there has been an increasing interest in Teak leaves crude extract application. Despite of enormous wood production, development of Teak leaves extraction has low interest due to ineffective and inefficient method as its high cost and low yield. MAE (Microwave-Assisted Extraction) is novel method of extraction using microwave to effectively and efficiently rupture cell. MAE is expected to increase the effectiveness and efficiency of Teak leaves crude extraction process. The aim of this study was to evaluate the effect of extraction time and solvent:material ratio (v/w) toward Teak leaves crude extract antibacterial activity.
Block randomized design was used to study the effect of two factors and three levels, extraction time (0, 60, and 120 seconds) and solvent:material ratio (v/w) (2:1, 3:1, and 4:1). Nine extractions were required to cover all possible combination. Antibacterial activity was tested triplet using well diffusion agar assay method. Total phenol content was examined using Folin-Ciocalteau method. Recovered yield was observed by comparing extract phenol compound mass to 100 g fresh Teak leaves. Data was analyzed using ANOVA (α=1%) and Honest Significance Difference test (α=1%).
The results of this research support the idea that MAE increase antibacterial activity against E. coli and S. aureus of Teak leaves crude extract when tested in-vitro. Both extraction time and distilled water volume gave quadratic responses to extract antibacterial activity. Teak leaves crude extract using MAE possessed highest antibacterial activity solvent:material ration at 3:1 (v/w) and 60 seconds microwaving. Extract total phenol content of the best treatment was 359,166±15,914μg/g crude extract. The maximum clear zone diameter against E. coli and S. aureus were 2,100±0,100cm. S. aureus was more susceptible than E. coli towards extract.The recovered extract yield was 0,073% (w/w).

Saturday, February 25, 2012

Iradiasi Gamma Cesium-137 pada Buah Apel Rome Beauty Iris


Buah Apel

Buah apel (Pryus malus) adalah salah satu jenis buah zona suhu dingin (temperate zone) yang memiliki pola respirasi non klimakterik (MDidea, 2010). Umumnya, buah apel dapat disimpan sekitar 3 - 4 bulan. Penyimpanan suhu rendah (2°C - 4°C) dapat membatu meminimalkan kehilangan nutrisi buah apel. Pengendalian kelembaban udara sekitar buah apel (atmosfer pada ruang penyimpanan atau pengemasan) dapat membatu dalam mempertahan kualitas nutrisi, fungsional, dan organoleptik buah apel (Mateljan, 2010).
Di dalam buah apel terdapat berbagai kandungan nutrisi. Dalam 100 gram buah apel standar komoditas pangan USDA  A343 terkandung 95% karbohidrat, 3% lemak, dan 2% protein (SELF, 2008). Buah apel juga mengandung berbagai macam vitamin seperti vitamin A, B, C, D, E, K, asam folat, dan asam pantotenat (Mateljan, 2010). Kelebihan buah apel adalah rendah lemak jenuh, kolesterol, dan natrium, serta tinggi serat pangan (2,4 gram), sedangkan kekurangan buah apel adalah sumbangan kalori yang cukup besar dari 10,4 gram gula (SELF, 2008).
Buah apel juga memiliki kandungan senyawa fitokimia fungsional yang memberi dampak positif bagi kesehatan tubuh manusia. Buah apel mengandung tinggi senyawa flavonoid (Mateljan, Apple, 2010). Jenis dan konsentrasinya tergantung pada komoditasnya. Misalnya saja, pada sel buah apel terdapat berbagai jenis senyawa quercentin yang melindungi sel Caco-2 manusia dari oksidasi lemak oleh H2O2 atau Fe2+ (Mateljan, 2010). Selain sebagai sumber antioksidan, buah apel juga memberi manfaat terhadap jantung dan regulasi gula darah, serta dapat berperan sebagai anti-kanker dan anti-asma (Mateljan, 2010).
Secara organoleptik, buah apel memiliki tektur daging buah yang renyah dan berwana putih. Kulitnya dapat berwana merah, kuning, ataupun hijau. Kemanisan buah apel sedang (moderate). Flavor umum buah apel menyegarkan karena mengandung gula (MDidea, 2010). Rasa getir pada buah apel berasal dari senyawa katekin, terutama terdapat pada kulit dan bijinya, dan tingkat kegetiran rasa buah apel tergantung pada varietasnya (Mateljan, Apple, 2010). Aroma khas buah apel berasal dari senyawa asam malat, asam amil valerat, dan/atau asam ester amilvalerat dan biasa diekstraksi sebagai esens aroma buah apel alami (MDidea, 2010).
                                                                                                                                             
Permasalahan Umum dalam Marketing dan Distribusi Buah Apel Segar

Dalam marketing (maupun distribusi) buah apel, sering ditemui kendala mendasar yaitu cara mempertahankan kualitas buah apel, baik dari aspek nutrisi, fungsional, dan organoleptik  (Proctor, 2010). Penurunan kualitas buah apel dapat berdampak kepada produsen, distributor, maupun konsumen. Permasalahan di atas mengakibatkan penurunan nilai ekonomis buah apel dan merupakan kerugian bagi produsen (Begnal, 2001). Ancaman yang muncul dari sisi distributor adalah penolakan konsumen terhadap buah apel. Secara langsung, konsumen merasa dirugikan karena tidak mendapatkan manfaat dari buah apel yang telah dibeli. Secara tidak langsung, hal ini memberi dampak pada pemerintah (Dow, 2010).
Buah apel sangat digemari oleh masyarakat luas. Pada tahun 2004, Negara Amerika mengekspor 13,1 juta gantang ke seluruh dunia. Terjadi peningkatan permintaan pada tahun 2005, yaitu sebanya 20,5 juta gantang (USApple, 2006). Tingginya permintaan masyarakat terhadap buah apel meningkatkan perhatian produsen, distributor, dan pemerintah mengenai mempertahankan kulalitas buah apel (Dow, 2010). Di sisi lain, jarak dan waktu selama proses marketing dan distribusi menjadi masalah, mengingat buah apel segar merupakan sel hidup yang masih dapat melakukan proses metabolisme (Proctor, 2010).
Ketidaksesuaian kondisi penyimpanan ataupun pengemasan selama marketing dan distribusi buah apel dapat berdampak negatif bagi kualitas apel (FAO, 2006). Misalnya, penurunan kerenyahan daging buah apel oleh enzim pektinase, hilangnya senyawa fungsional pada buah apel, pencoklatan akibat aktivitas enzim fenolase, dan menurunya konsentrasi vitamin dalam buah apel (Wageningen, 2009). Pertumbuhan jamur dan kapang pada permukaan buah apel juga akan memicu off-flavor dan off-odour akibat respirasi fermentatif (Gunes, 2000). Karena itu diperlukan teknologi yang dapat menghambat terjadinya penurunan kualitas buah apek seperti di atas.

Teknologi Iradiasi

Proses minimal merupakan proses yang memberi efek minimal terhadap perubahan kualitas buah dan dapat memperpanjang daya simpan buah (Gunes, 2001). Selain itu, proses minimal dapat memberikan karakteristik buah di tangan konsumen yang masih persis seperti buah segar (Fan, 2008). Salah satu teknologi dalam proses minimal yang sedang berkembang adalah teknologi iradiasi. Diharapkan teknologi iradiasi dapat berkembang menjadi salah satu metode preservasi kesegaran buah apel yang efektif dan efisien.
Iradiasi pangan adalah teknik pengolahan dimana bahan pangan dipaparkan terhadap balok electron (electron beam), sinar X, atau sinar gamma Cesium-137 dan Cobalt-60 (FSA, 2010). Secara umum, iradiasi member efek pengendalian terhadap insekta dan peningkatan masa simpan pada produk buah (UWFIEG, 2008). Teknologi ini merupakan teknologi preservasi dan keamanan pangan yang memberi dampak  seperti proses pasteurisasi (CPMA, 2009) dengan pengurangan 1-log dari total mikroba dengan 1 – 3 KGy radiasi (Fan, 2008). Iradiasi dapat mengurangi jumlah mikroba pembusuk dan patogen pada permukaan bahan pangan  (EHSO, 2008).
Air merupakan komponen utama yang penting dalam iradiasi pangan. Hal itu disebabkan oleh radiasi ionisasi terjadi paling banyak pada molekul HO. Radiolisis air pada sel mikroorganisme menghasilkan radikal bebas. Pada gilirannya, radikal bebas merusak beberapa komponen penting dalam sel, termasuk DNA mikrooganisme (Fan, 2008). Iradiasi juga menurunkan permeabilitas dan fungsionalitas mebran sel, sehingga berdampak pada kebocoran elektrolit dan kehilangan integritas jaringan. Tak dapat dihindari pula, ionisasi air terjadi pada molekul H2O bahan pangan. Sehingga, perubahan kualitas pada bahan pangan masih dimungkinkan dan tidak negatif (Garbis, 2011).
Radiolisis molekul H2O memberi beberapa pengaruh terhadap bahan pangan. Beberapa perubahan masih diinginkan, sebagian lagi tidak diinginkan. Contoh perubahan pada beberapa bahan pangan adalah sebagai berikut (EHSO, 2008).
1.        Perubahan struktur bahan pangan yang rentan terhadap iradiasi, misalnya sayur dedaunan berubah menjadi mushy.
2.        Perlambatan pematangan dan pemasakan buah dan sayuran, sehingga dapat memperpanjang umur simpan.
3.        Pengurangan atau perusakan beberapa nutrient, seperti vitamin, sehingga menurunkan nilai nutrisi bahan pangan.
4.         Perubahan beberapa senyawa pembentuk flavor
5.        Pembetukan senyawa baru yang tidak berasal dari bahan pangan membutuhkan pengendalian tingkat radiasi.
6.        Pembetukan radikal bebas dan dimungkinan berekombinasi dengan ion lainnya.

Penggunaan iradiasi dalam pengolahan bahan pangan harus diinformasikan kepada konsumen. FDA (Food and Drug Administration) memberi peraturan kepada produsen maupun distributor agar informasi disampaikan melalui pelabelan (UWFIEG, 2008). Label harus diberi gambar radura dan pernyataan “Treated by Irradiation” atau “Treated with Radiation” (EHSO, 2008). Daun bunga (petal) melambangkan bahan pangan, lingkaran tengah melambangkan sumber radiasi, lingkaran terputus-putus melambangkan sinar dari sumber radiasi (FSA, 2010).

Aplikasi Teknologi Iradiasi pada Buah Apel

Untuk mengatasi beberapa permasalahan pada proses marketing dan distribusi buah apel, telah dikembangkan dan diaplikasikan teknologi iradiasi di atas. Diharapkan proses minimal tersebut dapat memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas buah apel selama menempuh jarak dan waktu pada proses marketing dan distribusi, sehingga mampu meningkatkan penerimaan konsumen terhadap buah apel. Walaupun tidak menutup kemungkinan terhadap penurunan minat konsumen terhadap buah apel yang telah diproses dengan iradiasi, akibat peningkatan nilai eknomis (harga) buah apel sebanyak 2 hingga 3 sen dolar tiap pound buah dan kebimbangan konsumen terhadap keamanan buah apel yang telah diradiasi (UWFIEG, 2008).
FDA mengijinkan penggunaan radiasi tidak melebihi 10 KGy (EHSO, 2008). Menurut regulasi iradiasi pangan Inggris tahun 2009, dosis rata-rata maksimal yang diijinkan untuk produk buah 2 KGy  (FSA, 2010). Hal tersebut dihitung berdasarkan efek radiasi terhadap sel buah apel yang dapat merusak konsistensi sel buah apel. Informasi mengenai penggunaan radiasi terhadap buah apel dapat dikomunikasi melalui label maupun kemasan buah apel.
Mengingat sinar radiasi efektif untuk pasteurisasi dingin terhadap bagian permukaan buah apel saja, diperlukan tahapan preparasi untuk memaksimalkan efektifitas penjagaan mutu (Gunes, 2001). Buah apel perlu dipotong membentuk irisan tipis (slice) dan diberi beberapa perlakuan proses minimal lainnya (FAO, 2006). Dengan ketebalan yang kecil, diharapkan radiolisis dapat terjadi di seluruh bagian potong buah apel (Dow, 2010).
Penggunaan radioisotop Cs-137 sebagai sumber sinar gamma bekerja pada 0,51 MeV. Mekanisme perusakan DNA menggunakan foton berenergi tinggi memicu atom target untuk mengeluarkan elektron energi tinggi guna memecah molekul air menjadi radikal bebas. Radikal tersebut secara langsung memecah struktur DNA. Penetrabilitasnya dapat mencapai 30 – 40 cm. Waktu yang dibutuhkan adalah dalam hitungan menit (tergantung kekuatan sumber radiasi) untuk emisi energi (Niemira, 2008).
Di industri, buah apel melalui beberapa tahapan proses sebelum irisan buah apel diberi radiasi. Penerapan sanitasi yang baik dan penggunaan air bersih terklorinasi selama proses pengolahan dapat membantu menahan jumlah awal mikroba tetap rendah. Selain itu, alat-alat pemotong yang tajam dapat menghindarkan buah apel dari proses pencoklatan pada permukaan luka buah apel. Pisau tajam dapat membuat luka jaringan buah apel menjadi halus dan luas permukaannya rendah, sehingga luas permukaan kontak luka buah apel terhadap udara lebih sempit. Lebih dianjurkan untuk menggunakan alat-alat berbahan stainless steel agar mempermudah dalam pembersihan peralatan, termasuk meja, pisau, ataupun conveyor. Aplikasi suhu rendah selama proses perlakuan buah apel dapat membantu menurunkan reaksi enzimatis dan biokimia dalam buah apel.

Tahapan Proses Perlakuan Buah Apel Teradiasi

1.              Spesifikasi buah apel
Buah apel yang digunakan adalah buah apel jenis “Rome beauty” dari Batu yang dipanen secara komersial. Buah apel disimpan metode controlled atmosphere storage (CAS) 1,5% O2 dan 0,5% CO2 (N2 setimbang) pada suhu 1,5°C dan RH 98%. Berat apel kurang lebih 1 ons/buah.
2.              Preparasi buah apel iris dan perlakuan CaA (Calsium Ascorbate)
Semua perlakuan dilakukan pada suhu D Buah disortasi sesuai spesifikasi di atas. Permbersihan alat dan bahan dilakukan dengan 300 ppm NaOCl (pH 9,2). Slicer digunakan untuk mengiris buah apel menjadi 8 bagian yang sama dan membuang biji. Irisan direndam larutan CaA 3,5% selama 2 – 3 menit dalam bak 2,5L (48 irisan buah apel). Irisan buah apel dikeringkan (draining) dengan plastic drainer, kemudian ditempatkan dalam kantong berlapis poliolefin multi-layer 12 x 18 cm (8 irisan buah apel ~ 160 gram). Kantong tersebut memiliki kecepatan transmisi O2 dan CO2 adalah 15,3 dan 50 nmol/m2/s/kPa (3000 dan 9800 mL/m2/24 jam/atm) pada suhu 23°C.
3.              Iradiasi buah apel iris
Irisan buah apel yang telah dikemas diberi radiasi dengan dosis target 1,6 kGy di suhu 4°C dengan sumber radiasi gamma Cs-137 buatan Lockheed Georgia Co. dengan kecepatan radiasi 0,092 kGy/menit. Dosis aktual tidak lebih dari 5% dosis target. (Fan, 2005). Buah apel diradiasi selama 52 detik dengan dosis aktual 0,08 kGy .

Analisa Prosedur Perlakuan Proses
  •  Penyortasian
Sortasi dilakukan berdasarkan varietas, tingkat kematangan, ukuran, bentuk, dan warna. Varietas yang digunakan adalah varietas “Rome-beauty” yang dipanen dari perkebunan apel di Kota Batu. Kematangan yang dikehendaki adalah apel yang tepat matang. Hal ini berkaitan dengan apel merupakan buah non-klimakterik yang tidak dapat matang setelah pemanenan. Bentuk yang diinginkan adalah bundar dengan tingkat roundness yang disesuaikan spesifikasi kebundaran negara pengimpor. Warna kulit buah apel yang diminati konsumen adalah kuning bersembur warna merah. Spesifikasi lain yang digunakan dalam penyortasian adalah spesifikasi yang telah ditetapkan negara pengimpor.

  • Penyimpanan
Penyimpanan dilakukan untuk memperpanjang daya simpan buah apel dalam bentuk fresh material. Metode penyimpanan yang dilakukan adalah metode controlled atmosphere storaging. Buah apel “rome-beauty” merupakan buah musiman yang dipanen setiap 6 bulan sekali, sehingga metode tersebut dimaksudkan untuk menjaga kontinuitas ketersediaan bahan baku dan proses produksi. Udara diatur 1,5% O2 untuk menghindari proses respirasi aerob dan anaerob, serta 0,5% CO2 (N2 setimbang) untuk menekan konsentrasi O2 pada ruang penyimpanan (CO2dan N2 berpengaruh antagonisme terhadap O2). Penyimpan pada suhu 1,5°C bertujuan untuk menurunkan kecepatan reaksi enzimatis bahan baku dan mikroba yang terdapat dalam ruang penyimpanan. RH ruang penyimpanan diatur ±98% untuk menghindari terjadinya kehilangan massa akibat transpirasi.

  • Pendinginan
Pendinginan ruangan hingga 8°C bertujuan untuk menurunkan kecepatan reaksi enzimatis bahan baku, terutama aktivitas enzim polifenolase, dan aktivitas mikroba di ruangan pengolahan.  Selain itu, suhu rendah dapat menghindari reaksi pencoklatan non enzimatis (reaksi Maillard) diperLmukaan daging buah apel. Pendinginan dilakukan dengan Air Conditioner untuk ruangan berkapasitas 9000Btu guna menurunkan suhu dengan lebih cepat.

  • Pembersihan
Alat dan bahan dibersihkan dengan air terklorinasi dan menggunakan sanitizing agent NaOCl 30ppm (pH 9,2). Disyaratkan air yang digunakan untuk pembersihkan mengandung mikroba maksimal 104 CFU/ml guna mengurangi jumlah awal mikroba (microbial loading) di permukaan alat dan bahan yang berkaitan dengan proses pengolahan. Sanitasi pekerja juga harus diperhatikan agar tidak terjadi cross-contamination. Pekerja harus senantiasa mencuci tangan dengan sanitizing agent yang mengandung alkohol 70%. Jika diperlukan, trimming buah apel dilakukan untuk menghilangkan bagian yang tidak diinginkan , seperti batang, daun, atau bagian buah yang busuk.

  • Pengirisan
Pengirisan dilakukan untuk memperluas permukaan daging buah apel sehingga mempermudah dalam peradiasian. Selain itu, ketebalan yang kecil dapat mempercepat masuknya gelombang radiasi ke dalam seluruh bagian irisan buah apel. Penyajian buah apel dalam bentuk irisan juga memberi kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi buah apel. Dalam hal pengemasan dan pendistribusian, bentuk irisan apel dapat mengurangi densitas kamba (bulk density) sehingga dapat mengefisienkan proses pengemasan dan pendistribusian.

  • Perendaman dalam CaA
Perendaman dalam CaA bertujuan untuk menekan reaksi pencokelatan dan terjadinya discoloration pada permukaan irisan buah (Beaulieu, 2006). CaA juga dapat mereduksi penurunan kekerasan tekstur daging buah (firmness) selama penyimpanan, marketing, dan distribusi (Fan, 2008). CaA juga membantu menjaga kandungan asam askorbat (vitamin C) setelah terjadi pengirisan (Fan, 2005). Penggunaan CaA tidak mengganggu efektifitas radiasi dalam membunuh mikroba pada permukaan irisan buah apel (Fan, 2005).

  • Pengemasan
Pengemasan bertujuan untuk melidungi irisan buah apel dari pengotor fisik, kimia, makroorganisme, dan mikroorganisme. Selain itu, pengemasan memberi nilai estetika pada produk. Pengemasan juga digunakan sebagai media komunikasi produsen kepada konsumen, misalnya promosi, informasi, dan keterangan mengenai produsen. Pada pengemasan, harus ditambahkan simbol “radura” dan tulisan “Treated by irradiation”  untuk memberitahukan kepada konsumen bahwa produk telah mengalami radiasi. Hal ini diatur sesuai. Dipakai plastik poleolefin dengan tujuan untuk meminimalisir perpindahan udara (air movement) dari lingkungan.

  • Peradiasian
Peradiasian dosis 1,6 KGy bertujuan untuk memperpanjang daya simpan buah apel segar dengan cara membunuh mikroba pada permukaan irisan buah apel, mematikan aktivitas deteriorasi enzimatis, seperti enzim polifenolase (penyebab pencokelatan enzimatis), dan menjaga stabilitas senyawa fitokimia heat-labile. Dilakukan pada suhu 4°C agar menurunkan suhu selama proses peradiasian, karena proses radiolisis air menghasilkan panas.

  • Pendistribusian
Pendistribusian bertujuan untuk memindahkan produk akhir menuju tangan konsumen. Distribusi lebih mengarah kepada perdagangan luar negeri. Hal ini dikarenakan harga akhir produk cukup tinggi dibanding dengan harga buah apel dalam bentuk segar. Selain itu, memperhatikan kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan harga dibanding dengan nutrisi yang terkandung dalam bahan pangan, buah apel radiasi kurang diminati oleh konsumen domestik. Pendistribusian dilakukan dengan memperhatikan faktor lingkungan seperti suhu rendah dan minim cahaya untuk menghindari reaksi deteriorasi enzimatis dan foto-oksidasi.

Keuntungan Penggunaan Iradiasi

Iradiasi membunuh hampir seluruh bakteri, kapang, parasit, dan organisme yang menyebabkan food borne disease pada buah apel. Hal ini berdampak pada penurunan kebutuhan terhadap fumigan pasca panen yang dapat menimbulkan residu. Selain itu, masa simpan buah apel semakin panjang akibat inaktivasi organisme pembusuk dan menunda pemasakan (Fan, 2008). Pasteurisasi dingin ini juga dapat menjaga kestabilan senyawa-senyawa penting yang tidak tahan panas (heat-labile). Penggunaan Cs-137 sebagai sumber radiasi dapat mereduksi biaya produksi dalam peradiasian buah apel iris. Selain memiliki daya tembus yang tinggi, Cs-137 cepat dalam proses merubah air menjadi radikal bebas, sehingga biaya daya listrik (sebagai sumber daya sumber radiasi) dapat ditekan. Apel “rome-beauty” merupakan apel yang populer di luar negeri karena kandungan kimia bermanfaat dalam apel varietas ini paling tinggi dibanding varietas lain, sehingga apel “rome-beauty” teradiasi dapat dijadikan komoditas perdagangan ekspor yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dapat meningkatkan devisa negara.

Kerugian Penggunaan Iradiasi

Iradiasi menurunkan jumlah beberapa nutrisi penting seperti vitamin E (~15-30 %); Thiamin (~10-25%); Vitamin C (5-15%); Riboflavin (~7-10%); Pyridoxine (~10-20%); Vitamin B12 (~15-20%). Nutrisi lain juga terkena dampak dimana berakibat pada penurunan konsistensi. Selain itu, iradiasi menghasilkan produk radiolitik yang berlum diketahui keamanan pangannya secara jangka pendek dan jangka panjang, sehingga sebagian konsumen masih memiliki keraguan dalam memilih produk teradiasi.  Iradiasi juga memicu pembentukan oksida sterol dan epoksidasi asam lemak, serta hasil oksidasi lainnya (aldehid, ester, keton, dll) yang perlu dipehatikan keamannya. Untuk mendapat efektifitas 95% - 100% dalam mereduksi jumlah mikroba, diperlukan dosis yang lebih tinggi, sehingga dapat mempengaruhi kualitas buah apel. Iradiasi tidak efektif untuk melawan virus pada buah apel (Garbis, 2011). Harga apel teradiasi lebih tinggi dibanding dengan harga apel segar, sementara apel “rome-beauty” mudah  didapatkan di Indonesia, sehingga hanya konsumen domestik kalangan tertentu saja yang menyukai produk ini. Lapangan pekerjaan pada industri ini tidak terlalu padat karya karena tingginya penggunaan mesin-mesin pengolahan otomatis. Industri ini tidak dapat mengembangkan mikro-ekonomi Indonesia karena diperlukan modal awal yang cukup besar.

Friday, February 24, 2012

Jati (Tectona grandis) dan Daun Jati

Jati (Tectona grandis) merupakan pohon penghasil kayu berkualitas tinggi di kawasan Asia tenggara (Dehradun, 2004). Habitat jati adalah daerah beriklim tropis (Gurmartine, 2007). Jati berasal dari India, namun telah berkembang di Indonesia dengan 32 jenis baru jati berdasarkan rekayasa genetika isozim perakaran jati (Rachmawati, 2002). Tiap tahun, lahan perkebunan jati di Indonesia meluas sekitar 21m³/ha (Pandey, 2002). Di India, jati dimanfaatkan sebagai komoditas kayu, ornament, obat-obatan herbal, dan pewarna kain (Oudhia, 2004).

Daun jati merupakan bagian jati non-kayu yang kurang dimanfaatkan. Daun jati muncul pada bulan November-Januari. Warna daun jati muda adalah merah dan berubah menjadi hijau tua pada fase kematangan (Dehradun, 2004). Daun jati berbentuk oval atau elips (Oudhia, 2004). Pada fase pemanenan, bagian atas daun jati berwana hijau tua, sedangkan bagian bawah berwana lebih muda. Selain itu, pada permukaan bagian bawah daun jati, terdapat beberapa rambut kelenjar (glandular dot) dan bulu halus (Gurmartine, 2007).



Secara umum, panjang daun jati adalah sekitar 30-60 cm (Pandey, 2002). Ukuran daun jati jenis Prosea, FC CABI, dan Tewari berturut-turut adalah 15-55 cm x 11-37 cm, 15-90 cm x 6-50 cm, dan 20-50 cm x 15-40 cm. Sedangkan, panjang tangkai daun jati sekitar 5-6 cm (Gurmartine, 2007). Daun jati yang umumnya tumbuh di Indonesia berukuran 25-50 cm x 15-35 cm (Rachmawati, 2002). Daun jati yang telah memasuki fase lewat matang atau fase kematian menyusut hingga berukuran 13-15 cm x 15-20 cm (Dehradun, 2004).

Sumber:
Dehradun, F. (2004). Teak (Tectona grandis). Retrieved Agustus 29, 2011, from National Forest Library and Information Centre: http://www.frienvis.nic.in
Gurmartine, T. (2007). Tree Factsheet: Tectona Grandis. Wageningen: Wageningen University.
Rachmawati, H. (2002). Tectona grandis Linn. f. Bandung: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.
Pandey, D. (2002). Teak: A Global Overview. Unasylva , 51 (2), 1-15.
Oudhia, P. (2004). Sagon (Tectona grandis Linn.). Retrieved July 16, 2011, from Society for Purdue Parthenium Management: http://www.hort.purdue.edu

Ketogenesis

Sistesis Keton
Jika sejumlah besar asetil-CoA, dihasilkan dalam hati (liver), yang telah melebihi kapasitas siklus Krebs, maka sistesis keton (asetoasetat, β-hidroksibutirat, dan aseton). Sintesis ini terjadi dalam mitokondria dan memiliki kecepatan dua kali lipat dibanding oksidasi asam lemak hepatik. Sebaliknya, pemanfaatan keton-keton tersebut terjadi dalam sitosol.

Pembentukan asetoasetil-CoA terbentuk dari kondensasi dua molekul asetil-CoA. Reaksi ini dikatalisis oleh tiolase (HADHB atau ACAA2) dalam β-oksidasi. Namun, sebenarnya reaksi ini dikatalisis oleh enzim asetoasetil-CoA tiolase mitokondria (dari gen ACAT1). Asetoasetil-CoA dan asetil-CoA tambahan diubah menjadi β-hidroksi- β-metilglutaril-CoA (HMG-CoA) oleh enzim HMG-CoA sintase mitokondria (dari gen HMGCG2). HMG-CoA dikonversi menjadi asetoasetat oleh bantuan HMG-CoA liase.

Asetoasetat dapat mengalami dekarboksilasi secara spontan menjadi aseton ataupun dikonversi menjadi β-hidroksibutirat oleh β-hidroksibutirat dehidrogenase. Glikogen hati tinggi sejalan dengan pembentukan β –hidroksibutirat, Keton-keton tersebut berdifusi keluar dari mitokondria dan hepatosit secara bebas. kemudian memasuki sirkulasi dimana keton-keton tersebut diserap oleh jaringan non-hepatik, seperti otak, jantung, dan otot tulang.
Degradasi Keton
Saat pemakaian karbohidrat sangat rendah, kadar oksaloasetat juga menjadi rendah, sehingga menurunkan fluks melalui siklus Krebs. Hal ini berakibat pada peningkatan pelepasan keton dari hati sebagai bahan energi jaringan lain. Pada awal proses starvasi, dimana sisa lemak telah dioksidasi semuanya, hati dan otot tulang akan mengkonsumsi keton untuk mempertahankan glukosa yang dimanfaatkan oleh otak. Asetoasetat dan β-hidroksibutirat merupakan substrat utama dalam biosintesis lipida serebral neonatal.
Keton digunakan oleh jaringan ekstrahepatik melalui serangkaian reaksi dalam sitosol. Secara umum, degradasi ini (Gambar 1) merupakan reaksi kebalikan sistesis keton. Selama degradasi, rasio NAD+:NADH relatif tinggi, sehingga reaksi katalisis β-hidroksibutirat dehidrogenase teratur menurut arah sistesis asetoasetat. Enzim suksinil-CoA:3-oxoacid-CoA transferase (SCOT) juga disebut 3-oxoacid-CoA transferase 1 (OXCT1). Enzim ini berkadar banyak di hampir seluruh jaringan kecuali hati. Jumlah yang minim dapat membuat hati memproduksi keton tanpa memanfaatkannya kembali. Hal ini memastikan keberadaan keton sebagai sumber energi selama berpuasa dan kelaparan

Regulasi Ketogenensis
Produksi keton terjadi pada kecepatan relatif rendah pada kondisi makan dan fisiologis normal. Metabolisme produk asam lemak ditentukan oleh kondisi fisiologis individu dan dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut.
  1. Kontrol pengeluaran asam lemak bebas dari jaringan adipose memberikan efek pada tingkat ketogenesis dalam hati. Hormone-Sensitive lipase (HSL) mengatur pengeluaran asam lemak tersebut. Saat kadar glukosa menurun, sekresi glukagon pankreas meningkat dan fosforilasi HSL jaringan adiposa meningkat. Sebaliknya, insulin, yang diproduksi pada keadaan kenyang (sehabis makan), menghambat ketogenesis dengan defosforilasi dan inaktivasi HSL jaringan adiposa.
  2. Ketika lemak memasuki hati, terdapat dua kemungkinan.
    • Lemak diubahmenjadi asil-CoA dan dioksidasi.
    • Lemak diesterifikasi gliserol-3-fosfat. Ketika stok gliserol-3-fosfat mencukupi, semua lemak dikembalikan dalam produksi triasigriserol
  3. Asetil-CoA yang terbentuk dalam oksidasi lemak dapat teroksidasi sempurna dalam siklus Krebs ataupun kembali dalam biosintesis lemak. Jika permintaan ATP hati tinggi, maka asetil-CoA cenderung dioksidasi. Hal ini dapat terjadi terutama di bawah stimulasi hati oleh glukagon. Hormon ini akan meningkatkan glukoneogenesis dan energi didapatkan langsung dari oksidasi asam lemak dalam jaringan adiposa.
  4. Glukagon menyebabkan fosforilasi dan inhibisi asetil-CoA karboksilase (ACC). Sebaliknya, saat insulin dihasilkan, ACC hepatik diaktifkan dan kelebihan asetil-CoA diubah menjadi malonil-CoA. Peningkatan malonil-CoA menginhibisi traspor asam lemak ke mitokondria, sehingga oksidasi lemak dan produksi kelebihan asetil-CoA menurun.

Gangguan Ketogenesis
Gangguan ketogenesis yang signifikan dapat terjadi dalam penderita diabetes mellitus insulin-dependent yang tidak dirawat. Kondisi fisiologis ini, diabetes ketoasidosis (diabetic ketoaciosis/DKA), disebabkan oleh penurunan persediaan glukosa (akibat penolakan sirkulasi insulin) dan peningkatan oksidasi asam lemak (akibat sirkulasi glukagon). Peningkatan produksi asetil-CoA menyebabkan produksi keton melebihi kemampuan jaringan untuk mengoksidasi kembali. Keton merupakan asam relatif kuat dan memiliki pKa sekitar 3,5. Akumulasi keton menurunkan pH darah dan dapat mengganggu pengikatan oksigen oleh hemoglobin.

Monday, February 20, 2012

(Re-)Opening Blog

Whoa~ It has been so long time, more or less 3 years...
Such a weird feeling
Too long and moreover I forget how to blogging ( too much).

Nah, I mean just lots of scripts I forgot
I have to re-memorize any usefull scripts (not for hacking use)
Somehow, I am about to exist in this blog.
Previously, I used wordpress and (unfortunely) it was HACKED
So tragic, A hacker was hacked by another hacker

Anyway, the real reason I (re-)blogging is... #Tada
To meet the compulsory of Fast-Track program scholar that supported by SEAMOLEC
I don't have any idea either or know something about this stuff yet.
Hope these scholar will develop Indonesian Human Resource (I hope so)
Enjoy ajah!

Note: I wrote this note in Process Engineering class 

Happy READING and BLOGGING!

Regards,
Elina Cynthia Setiawan (Author)