Wednesday, March 14, 2012

Penggunaan Waxy-Corn pada Produksi Puffed Snack


Puffed Snack

Dewasa ini, permintaan konsumen lebih berkembang dari sebelumnya, terutama dalam segmen makanan ringan. Konsumen tertarik dengan berbagai macam jenis makanan ringan dan diikuti oleh pilihan produk dan profil makanan ringan yang semakin luas. Ekstrusi merupakan proses pengolahan yang baru berkembang di dunia pangan. Diharapkan ekstrusi dapat memenuhi permintaan konsumen di atas. Salah satu jenis  produk hasil ekstrusi panas (HTST/High Temperature Short Time) yang populer di kalangan masyarakat adalah puffed snack.

Berikut adalah tahap pengolahan waxy-corn secara ekstrusi direct-expanded dan satuan operasi yang terjadi bersamaan dengan proses utama (Tate & Lyle, 2005).

FEEDING
PRECONDTIONING
Mixing | Moisture Equilibration | Partial Starch Gelatinization
BARREL EXTRUSION (COOKING ZONE)
Complete Starch Gelatinization | Compression | Shearing
DIE ZONE/CUTTER
Expansion | Shape Formation | Texture Development
DRYING
DIRECT EXPANDED SNACK  
 
 
Ciri fisik puffed snack adalah ringan, renyah, densitas kamba rendah, kering, dan tekstur mengembang (Huber, 2001).  Karakteristik tersebut sangat dipengaruhi oleh kandungan pati, protein, dan lemak. Senyawa-senyawa tersebut mengelami gelatinisasi pati, pembentukan kompleks lemak-pati, denaturasi dan teksturisasi protein sepanjang proses preconditioning, cooking, dan pengeluaran melalui die (Pratama, 2007). Penggunaan waxy-corn pada produksi puffed snack dapat memberikan karakteristik fisik yang baik selama proses ekstrusi maupun pada produk akhirnya.

Peran Pati pada Puffed Snack

Pati memberikan pengaruh besar pada proses ekspansi bahan selama ekstrusi dan kerenyahan produk akhir (puffed snack). Pada pati, terdapat fraksi amilosa dan amilopektin. Pada umunya, polimer amilopektin yang memiliki tingkat percabangan tinggi meningkatkan viskositas dan pengembangan (expansion) adonan. Sebaliknya, amilosa bertanggungjawab untuk memperkuat adonan dimana mempermudah dalam proses pembetukan dan pemotongan, serta tekstur akhir yang lebih keras dan renyah (Phillips & Williams, 2009). Hal di atas dipengaruhi oleh suhu tinggi ±250°C dan tekanan tinggi 25 MPa selama proses ekstrusi (Brennan, 2006).

Kondisi selama proses ekstrusi memungkinkan terjadinya penguapan air bebas bahan. Pelepasan gas dan uap air menyebabkan pembentukan struktur adonan puffed snack yang berongga-rongga dan berisi gelembung gas di dalamnya sehingga menghasilkan dinding-dinding adonan bergelembung yang tipis dan rapuh sejalan dengan penurunan kadar air dan aw (Estiasih & Ahmadi, 2009). Air sisanya terikat pada karbohidrat membetuk bound water.

Pada puffed snack, kerenyahan dipengaruhi oleh sejumlah air terikat pada matriks karbohidrat yang mempengaruhi pergerakan relatif dari daerah kristalin dan amorf (Phillips & Williams, 2009). Struktur amorf atau partially amorf dalam bahan pangan terbentuk karena berbagai proses yang tergabung dalam proses ekstrusi. Struktur kristalin dan amorf mempengaruhi bentuk lapisan padat uap air dalam bahan. Produk pangan yang kering renyah (dry crispy) atau crunchy memiliki struktur produk yang terdiri dari balok (beam) dan lapisan bahan padat yang melingkupi gelembung udara (Jakubczyk, 2008).

Yellow Waxy-Corn
  
 Waxy-corn

Jagung pulut atau waxy-corn (Zea ceritina Kulesh) adalah jagung yang telah mengalami modifikasi secara genetis. Rekayasa genetika terhadap Wx dan wx mempengaruhi pati waxy-corn. Pati waxy-corn digolongkan sebagai genetically modified starch. Hasil rekayasa gen jagung ini diuji dengan mereaksikan larutan iodin terhadap pati waxy-corn dan diukur menggunakan metode spektofotometri (intensitas warna biru) pada panjang gelombang 580nm(Subekti, 2008). Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan sifat afinitas iodin amilosa adalah 19%, sedangkan amilopektin adalah hanya 1%.

 Adanya gen tunggal waxy (wx) bersifat resesif epistasis yang terletak pada kromosom sembilan mempengaruhi komposisi kimiawi pati, sehingga jumlah amilosa pati waxy-corn sangat sedikit. Struktur lokus wildtype-waxy ditentukan menggunakan DNA sequencing. Gen wx+ memiliki 3718 bp dengan 14 ekson dan 13 intron. Tanaman jagung yang memiliki karakter waxy secara heterogenus biasanya mengandung gen Wx Wx wx ataupun wx wx Wx.

Lokus Wx mengkode enzim granule-bound pati, yaitu enzim NPD-glucose-starch glucosyltransferase. Enzim sintase tersebut berperan penting dalam proses biosistesis amilosa. Gen Wx mengkatalis ikatan 1,4 glikosida dari residu glukosa dalam sintesa amilosa pada perkembangan endosperm jagung. Enzim terdapat pada amiloplas dan merupakan komponen terbesar protein yang berikatan dengan pati dalam jagung (Wikipedia, 2011).

Pada gen endosperm wx wx wx, aktivitas enzim NPD-glucose-starch glucosyltransferase sangat rendah. Aktivitas enzim tersebut berbanding lurus terhadap jumlah gen Wx pada lokusnya. Pada gen Wx diploid, aktivitas enzim glukosiltransferase lebih rendah dibanding jagung yang memiliki gen Wx tetraploid. Namun, jumlah gen tersebut tidak berhubungan langsung terhadap kandungan amilosa. Dengan mengurangi jumlah gen Wx, aktivitas enzim pembetukan amilosa dapat dikurangi dan secara tidak langsung dapat meningkatkan kadar amilopektin pati (Wikipedia, 2011).

Bahan Baku pada Puffed Snack

Puffed snack umumnya berbahan dasar pati jagung. Pati jagung alami (Zea mays averta) mengandung 26% amilosa dan 74% amilopektin (Fu & Jin, 2007). Suhu gelatinisasi pati jagung ±62-72°C, suhu pasta (pasting) 80°C, dan membentuk gel yang buram (opaque) setelah pemasakan  (Phillips & Williams, 2009). Jagung sangat mudah untuk diekstrusi dan memberikan tekstur yang baik, serta biasanya dapat langsung diterima oleh pasar (Burnea, 2001). Puffed snack memiliki densitas bulk yang rendah karena terjadi pengembangan volume (expansion).

Untuk mendapatkan pengembangan yang lebih besar, biasanya industri puffed snack menggunakan pati waxy-corn. Menurut Phillips & Williams (2009), komponen terbesarnya adalah amilopektin (~99%) dan memiliki suhu gelatinisasi ±63-72°C, pasting temperature 74°C, dan membentuk sifat kohesif. Komponen amilopektin berpengaruh besar pada peningkatan viskositas dan ekspansi (Phillips & Williams, 2009). Karena kandungan amilopektin waxy-corn lebih tinggi dibanding jagung alami, waxy-corn dapat memberi pengembangan lebih besar dibanding pati jagung alami.

Puffed Snack

 Daftar Pustaka

Brennan, J. G. (2006). Food Processing Handbook. In B. J. Dobraszczyk, Baking, Extrusion and Frying (pp. 237-290). Weinheim: Wiley-VCH.
Burnea, O. (2001). Snack Foods from Formers and High-Shear Extruders. In E. Lusas, Snack Food Proccessing . London: CRC Press. 
Estiasih, & Ahmadi. (2009). Teknologi Pengolahan Pangan. Malang: PT. Bumi Aksara.
Fu, Z., & Jin, T. (2007). Rheological Properties of Waxy Maize Starch Pastes. Luoyang: Henan University of Science and Technology.
Huber, G. (2001). Snack Foods from Cooking Extruders. In E. Lusas, Snack Food Processing. London: CRC Press.
Jakubczyk, E. (2008). Relationship between Water Activity of Crisp Bread and Its Mechanical Properties and Structure. Polish Journal of Food and Nutrition Science , 58, 45-51.
Phillips, G. O., & Williams, P. A. (2009). Handbook of Hydrocolloids. In P. Taggart, & J. R. Mitchell, Starch (2nd ed., pp. 108-141). Cambridge: Woodhead Publishing Limited.
Pratama, R. I. (2007). Kajian Mengenai Prinsip Dasar Teknologi Ekstrusi Untuk Bahan Makanan dan Beberapa Aplikasinya Pada Hasil Perikanan. Jatinagor: Universitas Padjadjaran.
Subekti, N. A. (2008). Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Maros: Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Tate, & Lyle. (2005, April). Snack Application: New Direction in Snack Food Ingredients. Decatur, Illinois, USA.
Wikipedia. (2011, March 3). Waxy Corn. Retrieved June 1, 2011, from Wikipedia: http://www.wikipedia.org

Monday, March 05, 2012

Microwave


Gelombang mikro adalah radiasi elektromagnetik berfrekuensi 0,3-300 GHz (Kaufmann dan Christen, 2002). Menurut Mandal et al. (2007), efek pemanasan gelombang mikro maksimum terjadi pada pemanasan frekuensi 2450 MHz dengan energi luaran 600-700 watt. Gelombang mikro terbentuk dari dua medan kumparan tegak lurus (oscillating perpendicular fields), yaitu medan elektris dan medan magnetik. Gelombang mikro dalam MAE berperan sebagai vektor energi kepada bahan yang mampu menyerap dan mengubah energi menjadi panas secara radiasi  (Jain et al., 2009).

Spektrum Gelombang Elektromagnetik
Efek pemanasan gelombang mikro berdampak nyata pada senyawa polar dan bersifat transparan terhadap senyawa non-polar. Pemanasan senyawa polar diatur oleh fenomena yang simultan, yaitu konduksi ionik dan rotasi dipol. Konduksi ionik adalah migrasi elektroforetik ion di bawah pengaruh perubahan muatan medan. Nilai tahanan bahan untuk melakukan migrasi ion menghasilkan friksi sehingga memanaskan larutan (Kaufmann dan Christen, 2002). Nilai resistansi tersebut dipengaruhi oleh jenis bahan.

Pada frekuensi lebih besar dari 2450 MHz, komponen elektris berubah dengan lebih cepat sehingga molekul-molekul tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk memulai penyusunan kembali.. Jika frekuensi gelombang lebih rendah dari 2450 MHz, komponen elektris berubah dengan lebih lambat sehingga molekul-molekul mendapatkan cukup waktu untuk melakukan penyusunan kembali molekul tanpa terjadi vibrasi. Kedua fenomena di atas ini menyebabkan tidak terjadinya gaya friksional dan tidak timbulnya panas. Berdasarkan mekanisme di atas, hanya senyawa dieletrik dengan dipol-dipol permanen yang dapat dipanaskan dengan gelombang mikro (Mandal et al., 2007).
Efek Radiasi pada Molekul Air
Rotasi dipol berarti penyusunan kembali (realignment) dipol-dipol molekul terhadap medan elektris yang berubah-ubah. Komponen elektris gelombang berubah 4,9 x 104 kali tiap detik. Molekul senyawa polar mencoba menyusun dirinya kembali untuk mempertahankan kestabilan fase pelarut di tiap satuan waktu. Namun, karena perubahan komponen elektris gelombang terlalu cepat, molekul pelarut gagal untuk melakukan penyusunan kembali dan akhirnya bergetar (vibrating). Hal ini menakibatkan panas melalui gaya friksional (Mandal et al., 2007).
Konstanta dielektrik dan momen dipole pelarut
Pelarut
Konstanta dielektrik (20°C)
Momen Dipol (25°C) (Debye)
Heksana
1,89
<0,1
Aseton
20,7
2,69
Etanol
24,3
1,69
Metanol
32,6
2,87
Air
78,5
1,87
Sumber: Kaufmann dan Christen (2002)

Terdapat dua parameter yang mempengaruhi sifat dielektrik bahan dan pelarut. Pertama ε’’, faktor kehilangan dielektrik (dieletric loss factor) yaitu efisiesi konversi energi gelombang mikro terserap menjadi panas, Kedua, ε’, konstanta dielektrik yaitu polarisabilitas (polarizability) molekul larutan dalam sebuah medan elektris. (Kaufmann dan Christen, 2002). Rasio kedua parameter disebut faktor disipasi (dissipation factor), tan δ, yaitu efisiensi konversi energi pada jenis larutan tertentu (Jain et al., 2009). 

Konstanta dan faktor kehilangan dieletrik beberapa pelarut
Pelarut
Konstanta Dielektrik (ε’) F/m
Faktor Kehilangan Dieletrik (ε’’) F/m
Air
80
12
Aseton
20,7
11,5
Metanol
23,9
15,4
Etanol
7
1,6
Heksana
1,88
0,00019
Sumber: Jain et al. (2009)

Friday, March 02, 2012

Faktor yang Mempengaruhi Proses Microwave-Assisted Extraction (MAE)

Pemilihan pelarut merupakan hal mendasar dalam mendapatkan proses ekstraksi optimal. Pilihan pelarut didasarkan pada kelarutan senyawa target (selektifitas), interaksi antara pelarut dan matriks bahan, dan faktor disipasi. MAE bisa dilakukan tanpa pelarut. Sistem kelenjar dan pembuluh bahan (tanaman) mengandung air yang dapat menyerap gelombang mikro. Pemanasan cepat dalam sel bahan menyebabkan pemecahan sel dan pengeluaran senyawa target ke dalam pelarut dingin secara efektif (Mandal et al., 2007).

Volume pelarut juga faktor kritis dalam ekstraksi. Prinsipnya adalah volume pelarut harus mencukupi untuk melarutkan senyawa target dan memanaskan sel. Rasio pelarut:matriks padatan tinggi memerlukan pengadukan (stirring) pelarut selama ekstraksi. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa jumlah bahan dan volume pelarut yang dipakai dalam MAE berkisar antara miligram dan mililiter (dalam skala laboratorium). Efisiensi pemanasan pelarut perlu diperhatikan karena mempengaruhi tingkat evaporasi pelarut (Mandal et al., 2007).

Waktu merupakan parameter penting dalam ekstraksi. Umumnya, waktu ekstraksi berkorelasi positif terhadap jumlah senyawa target, walaupun terdapat resiko terjadinya degradasi senyawa target itu sendiri. Waktu ekstraksi tergantung pada bahan yang diekstrak. Penelitian optimasi waktu ekstraksi penting dilakukan karena waktu ekstrasi mungkin bervariasi terhadap bagian bahan yang berbeda. Waktu ekstraksi dipengaruhi oleh nilai dielektrik pelarut. Pemaparan pelarut seperti air, etanol, dan metanol yang lama memberi resiko pada senyawa target termolabil (Mandal et al., 2007).

Daya dipilih secara tepat untuk menghindari suhu degradatif senyawa target dan kelebihan tekanan dalam proses ekstraksi. Pemecahan sel pada daya rendah terjadi secara berangsur-angsur. Sebaliknya, daya tinggi beresiko meningkatkan degradasi termal senyawa target. Daya gelombang mikro saling dipengaruhi oleh waktu ekstraksi dan suhu ekstraksi. Kombinasi dari daya rendah-sedang dan waktu ekstraksi yang panjang merupakan pendekatan kondisi ekstraksi terbaik. Suhu tinggi dan daya tinggi mengintensifkan pemecahan dinding sel. Namun, dapat memungkinan degradasi senyawa target secara termal (Mandal et al., 2007).

Ukuran partikel bahan mempengaruhi hasil ekstraksi. Ukuran partikel efektif berkisar 100 μm hingga 2 mm. Bubuk halus (fine powder) mempermudah kontak matriks bahan-pelarut dengan memberikan luas permukaan besar dan jarak tempuh bahan-pelarut yang pendek. Umumnya, pemusingan (centrifugation), penyaringan (filtration), dan pemerasan (squeezing) dilakukan untuk memisahkan bubuk halus dari pelarut (Mandal et al., 2007). Rendemen ekstraksi saponin dari gingseng berkorelasi negatif ukuran partikel bahan (Shu  et al., 2003).

Suhu ekstraksi merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam MAE. Suhu tinggi meningkatkan pengeluaran (desorption) senyawa dari bagian aktif (active sites) karena perusakan sel bahan meningkat. Suhu ekstraksi meningkatkan suhu pelarut secara konvektif. Pelarut panas mengalami penurunan tegangan permukaan (surface tension) dan viskositas (viscosity). Keadaan ini meningkatkan daya pembasahan (wetting) bahan dan penetrasi matriks (Jain et al., 2009). Sebaliknya, suhu tinggi memerlukan perhatian keselamatan (safety) yang lebih intensif dalam menggunakan pelarut mudah terbakar (Kaufmann dan Christen, 2002). Suhu tinggi yang berlebihan dapat berdampak pada degradasi senyawa target secara termal (Calinescu et al., 2001).
pH medium ekstraksi juga mempengaruhi proses ekstraksi. pH menentukan tingkat kelarutan senyawa target dan mempengaruhi kestabilan senyawa target dalam pelarut ekstraksi (Kaufmann dan Christen, 2002). Jumlah proses ekstraksi juga meningkatkan efisiensi ekstraksi. Misalnya, empat ekstraksi dengan 50 ml pelarut lebih efisien dibanding satu ekstraksi dengan 200 ml pelarut. Biasanya, rendemenen dapat maksimal dengan 3-5 proses ekstraksi bahan secara berturut-turut (Teresa, 2003).

Beberapa perlakuan dilakukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi ekstraksi. Peluluhan awal (pre-leaching) bahan kering pada suhu ruang oleh kandungan air alami matriks bahan meningkatkan efektifitas ekstraksi. (Calinescu et al., 2001). Perendaman, sebagai perlakuan pendahuluan (pretreatment), meningkatkan efektifitas dan selektifitas pemanasan. Bahan menyerap gelombang mikro dan menghasilkan panas berasal dari pemanasan radiasi dan pemanasan kovektif pelarut terhadap bahan yang (Mandal et al., 2007).

Microwave-Assisted Extraction (MAE)

MAE merupakan ekstraksi yang memanfaatkan radiasi gelombang mikro untuk mempercepat ekstraksi selektif melalui pemanasan pelarut secara cepat dan efisien (Jain et al., 2009). Menurut beberapa hasil penelitian, MAE meningkatkan efisiensi dan efektifitas ekstraksi bahan aktif berbagai jenis rempah-rempah, tanaman herbal, dan buah-buahan (Calinescu et al., 2001). Gelombang mikro mengurangi aktivitas enzimatis yang merusak senyawa target (Salas et al., 2010).

Panas radiasi gelombang mikro memanaskan dan menguapkan air sel bahan. Tekanan pada dinding sel meningkat. Akibatnya, sel membengkak (swelling). Tekanan mendorong dinding sel dari dalam, meregangkan, dan memecahkan sel tersebut (Calinescu et al., 2001). Rusaknya matrik bahan mempermudah senyawa target keluar dan terekstraksi (Jain et al., 2009). Menurut Mandal et al. (2007), radiasi gelombang mikro pada kulit jeruk terbukti meningkatkan tingkat kerusakan sel dan jumlah pektin terlarut.

Hal ini memungkinkan ekstraksi bahan kering dengan MAE karena masih terdapat beberapa sel bahan yang mengandung air (moisture) dalam jumlah sangat kecil. Perusakan sel semakin efektif dengan penggunaam pelarut bernilai faktor disipasi tinggi (Kaufmann dan Christen, 2002). Namun, penggunaan suhu tinggi tidak aplikatif untuk senyawa target termolabil. (Calinescu et al., 2001) Untuk melindungi senyawa target yang tidak stabil pada panas, digunakan pelarut transparan terhadap gelombang mikro seperti heksana dan klorofom (Mandal et al., 2007).

Suhu tinggi radiasi gelobang mikro menghidrolisis ikatan eter pada konstituen dinding sel tanaman, yaitu selulosa. Dalam waktu yang singkat, selulosa berubah menjadi fraksi terlarut. Suhu tinggi pada dinding sel bahan juga meningkatkan dehidrasi selulosa dan menurunkan kekuatan mekanis selulosa. Akibatnya, pelarut lebih mudah mengakses senyawa target dalam sel. Dalam studi kerusakan sel akibat berbagai metode ekstraksi terhadap tembakau, metode MAE menunjukkan tingkat kerusakan sel yang lebih tinggi dibanding metode ekstraksi refluksasi panas (heat-reflux) akibat kenaikan suhu dan tekanan dalam sel secara signifikan (Mandal et al., 2007)

Migrasi ion terlarut akibat radiasi gelombang mikro memudahkan penetrasi pelarut ke matriks bahan. Pemanasan molekul air dalam sistem kelenjar dan pembuluh tanaman misalnya. Hal ini menyebabkan panas terlokalisir. Akibatnya terjadi  pengembangan volume dan perusakan sel. (Mandal et al., 2007).

Kelebihan MAE adalah waktu ekstraksi dan kebutuhan pelarut yang relatif rendah dibanding ekstraksi konvensional (Mandal et al., 2007). Beberapa jenis bahan dapat diekstrak secara simultan dan mengasilkan hasil rendemen menyerupai performansi SFE. Sebaliknya, diperlukan kondisi ekstraksi yang tepat dalam menggunakan pelarut mudah terbakar ataupun ekstrak bersenyawa termolabil dalam pelarut berfaktor disipasi tinggi (Salas et al., 2010).

Perbandingan ekstraksi soxhletasi, UAE, MAE, dan SFE
Parameter
Soxhletasi
UAE
MAE
SFE
Berat bahan (gram)
5-10
5-30
0,5-1
1-10
Volume pelarut (ml)
>300
300
10-20
5-25
Suhu (°C)
Titik didih
Ruang
40, 70, 100
50, 200
Waktu
16 jam
30 menit
30-45 detik
30-60 menit
Tekanan (atm)
Ruang
Ruang
1-5
150-650
Konsumsi energi relatif
1
0,05
0,05
0,25
Sumber: Jain et al. (2009)

Thursday, March 01, 2012

Pengaruh Bentuk Bahan terhadap Pengeringan

Pengeringan

Pengeringan merupakan metode preservasi pangan kuno yang populer. Pengawetan daging, ikan, dan tanaman pangan menggunakan pengeringan matahari atau udara telah dilakukan sejak jaman prasejarah. Hingga saat ini, pengeringan masih menjadi satuan operasi penting dalam kehidupan dan industri. Pengeringan didefinisikan sebagai penghilangan air melalui proses evaporasi, dari bahan padat maupun cairan, dengan tujuan untuk mendapatkan produk akhir berbentuk padat dengan kadar air (ataupun aw) yang cukup rendah (Berk, 2009).
Di dalam industri pangan, pengeringan ditujukan untuk  maksud sebagai berikut.
  1. Pengawetan (sebagai akibat rendahnya aw).
  2. Pengubahan bahan pangan ke bentuk yang lebih nyaman dalam penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan pemakaiannya.
  3. Pemberian sifat produk pangan yang spesifik (seperti kerenyahan, cita rasa, keuletan, dan sebagainya).
Kepentingan proses pengeringan dalam operasi industri pangan mendorong pengembangan metode pengeringan yang efektif dan efisien. Sayangnya, prinsip fisika fenomena kompleks yang terjadi pada proses pengeringan tidak dapat bekerja untuk seluruh jenis bahan. Pemilihan metode pengeringan dan kecepatannya sangat spesifik terhadap bahan apa yang akan dikeringkan. Sehingga, perlu diketahui pengaruh bentuk bahan terhadap kecepatan pengeringan.

Mekanisme Pengeringan

Pada pengeringan, mekanisme penghilangan air melibatkan dua proses secara simultan, yaitu transfer panas (evaporasi air bahan oleh panas sensible maupun panas laten) dan transfer massa uap air (hasil evaporasi air bahan). Berdasarkan model transfer panas, pengeringan terbagi menjadi: pengeringan konvektif dan pengeringan konduktif. Pada kasus freeze-drying (lyofilisasi), metode penghilangan air bahan didasarkan pada sublimasi air pada pangan beku di bawah kondisi vakum.
Kecepatan transfer panas diekspresikan secara matematis sebagai berikut.
Q = Hs A (θa - θs)
Kecepatan transfer massa uap air diekspresikan secara matematis sebagai berikut.
mc = Kg A (Hs - Ha)
Karena, selama masa kecepatan konstan, titik keseimbangan terbentuk antara kecepatan transfer panas ke dalam bahan pangan dan kecepatan transfer massa kehilangan uap air dari bahan pangan. Kesetimbangan tersebut dinyatakan dengan model matematis berikut.
-mc = Hs A (θa - θs) λ-1
Dimana,
Q            = kecepatan transfer panas (J s-1)
θa            = suhu rata-rata bola kering udara (°C)
θs            = suhu rata-rata bola basah udara (°C)
-mc         = kecepatan transfer massa uap (kg s-1)
Kg           = koefisien transfer massa (kg m-2 s-1)
A             = luas permukaan bahan (m2)
Hs           = kelembaban jenuh pada permukaan makanan (kg air per kg udara kering)
Ha           = kelembaban udara (kg air per kg udara kering) 
λ             = panas laten vaporisasi pada suhu bola basah (J kg-1)
Dari beberapa persamaan di atas, diketahui bahwa luas permukaan bahan merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan. Luas permukaan bahan berkorelasi positif terhadap baik kecepatan transfer massa maupun kecepatan transfer panas. Secara langsung, luas permukaan dipengaruhi oleh bentuk geometris bahan.

Pengaruh Bentuk Bahan secara Umum terhadap Kecepatan Pengeringan

Bentuk bahan pangan tidak bisa dikelompokkan secara sempurna, misalnya kubus atau bulat sempurna. Sangat sulit untuk mendapatkan bentuk-bentuk demikian dan keseragamannya, namun dapat dilakukan estimasi dan perkiraan yang mendekati bentuk sempurnanya. Di industri, bentuk dinyatakan dengan terminologi sphericity. Oleh karena itu, digunakan persamaan berikut untuk menghitung luas permukaan bahan yang memiliki bentuk secara umum.
A = 6m / (Ф ρp Dp)
Dimana,
A            = luas permukaan bahan (m2)
m            = massa bahan (kg)
Ф            = kebolaan/sphericity
ρp           = densitas partikel (kg/m3)
Dp           = diameter partikel ekuivalen (m)
Berdasarkan persamaan di atas, luas permukaan berkorelasi negatif terhadap diameter bahan ekuivalen. Secara teknis, perluasan permukaan bahan dapat dilakukan dengan cara memperkecil diameter ekuivalen suatu bahan. Kecilnya diameter ekuivalen bahan dapat berimplikasi pada penurunan jarak sumber panas ke titik terdingin bahan (untuk kasus transfer panas) dan jarak titik terjauh bahan dari permukaan bahan untuk mendifusi uap air (untuk kasus transfer massa uap air). Pemendekan jarak ini dapat meningkatkan kecepatan transfer panas dan transfer massa uap air secara simultan.

Pengaruh Bentuk Bahan secara Teoritis terhadap Kecepatan Pengeringan

Secara realita, bentuk bahan mempengaruhi kecepatan pengeringan melalui rasio luas permukaan (A) terhadap volume bahan (V). Diinginkan bahan dengan luas permukaan yang tinggi dan volume bahan yang rendah (rasio luas permukaan:volume tinggi) sehingga kecepatan pengeringan dapat meningkat. Berikut adalah contoh beberapa bentuk geometris yang biasa ditemui di industri pangan.
Gambar
Nama
Rumus A
Rumus V
Rasio A:V per unit volume
Tetrahedron
7,210
Kubus
6a


a3
6,000
Bola
a2
 (4/3)πa2
4,836

Dari perbandingan di atas, pada satuan volume bahan yang sama, diketahui bahwa urutan bentuk bahan yang memiliki kecepatan transfer massa dan transfer panas berturut-turut adalah tetrahedron, kubus, dan bola. Namun, sangatlah sulit untuk medapatkan bahan-bahan pangan berbentuk dadu/kubus. Misalnya, pada pengeringan biji pala, pengeringan susu, ataupun pengeringan sayur-sayuran. Sehingga, untuk mendapatkan rasio luas permukaan:volume bahan yang tinggi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) meningkatkan luas permukaan bahan; dan (2) menurunkan volume bahan. Dengan demikian, diharapkan dapat mempercepat pengeringan bahan-bahan non-kubikal.

Pengaruh Bentuk Bahan secara Aplikasi terhadap Kecepatan Pengeringan

Dalam industri pangan, banyak usaha yang dilakukan untuk meningkatkan rasio luas permukaan terhadap permukaan. Misalnya, pada pembuatan keripik singkong. Bahan adonan yang awalnya menyerupai silinder diiris-iris sehingga menghasilkan bahan adonan yang berbentuk slab. Pada bentuk slab, jarak titik terdingin adonan dengan sumber panas menjadi sangat pendek. Sehingga, lintasan yang dilalui oleh panas (dari lingkungan/udara ke bahan) maupun uap air (dari bahan ke lingkungan/udara) diminimalisir dan berakibat pada peningkatan kecepatan pengeringan adonan.
Peningkatan rasio luas permukaan:volume juga dapat dicapai melalui proses pengecilan ukuran. Misalnya pada sayur-sayuran. Untuk membuat bubuk sayur (ataupun bubuk buah), dilakukan proses pengecilan ukuran pada perlakuan pendahuluannya, seperti pengirisan, pendaduan, shredding, dan lain sebagainya. Sehingga, luas kontak permukaan bahan terhadap udara pengering dapat meningkat. Hal ini dapat meningkatan kecepatan transfer panas maupun transfer massa uap air pada pengeringan bahan-bahan tersebut.
Pada industri susu bubuk, pengeringan dilakukan dengan metode spray drying. Metode ini melibatkan pengecilan ukuran susu dalam bentuk cairan atau droplet susu. Ukuran droplet berkisar 10-200 μm. Dengan diameter partikel susu yang relatif kecil dan kombinasi suhu udara pengering yang tinggi, pengeringan dapat dilakukan dalam beberapa detik saja. Berdasarkan persamaan matematis untuk perhitungan luas permukaan bahan secara umum, diameter partikel ekuivalen memiliki korelasi negatif terhadap luas permukaan bahan. Dengan demikian, luas permukaan susu menjadi meningkat dalam volume susu yang sama.
Secara lebih konvensional, perluasan area kontak bahan terhadap udara pengering dapat dicapai dengan pemerataan bahan. Misalnya, pada industri rempah, pengeringan biji lada ataupun pods vanili dapat dilakukan lebih cepat dengan meratakan bahan-bahan tersebut di bawah sinar matahari pada lahan yang luas. Pemerataan bahan-bahan dapat dianalogikan sebagai proses pembentukan slab. Dengan pemerataan bahan, bahan tidak saling menumpuk dan menghalangi transfer massa dan transfer panas dari matahari menuju rempah.
Pada penelitian mengenai pengeringan serbuk kayu, bahan berbentuk flake-like dan cylinder-like dapat memberikan kecepatan pengeringan lebih tinggi dibanding bentuk near spherical. Menurut Lu (2002), jarak dari permukaan terjauh mengalami peningkatan suhu yang paling rendah. Hal ini terjadi karena lintasan transfer panas dari udara pengering menuju ke titik terdingin bahan relative panjang pada bentuk near spherical. Selain itu, dibandingkan ketiga bentuk diatas, kehilangan massa sepanjang pengeringan lebih banyak terjadi pada bentuk flake-like dan cylinder-like. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan luasan permukaan kontak bahan terhadap udara pengering dapat mempercepat transfer massa uap air dan transfer panas (prose pengeringan).

Referensi

Beals, M. (2000). Sizes of Organisms: The Surface Area:Volume Ration. New York: Cambridge University Press.
Berk, Z. (2009). Food Process Engineering and Technology. New York: Elsevier Inc.
Brennan, J. G. (2006). Evaporation and Dehydration. In J. G. Brennan, Food Processing Handbook (pp. 71-121). Weinheim: Willey-VCH.
Fellows, P. J. (2000). Food Processing Technology. Cambridge: Woodhead Publishing Limited.
Lu, H. (2002). Effects of Particle Shape and Size on Black Liquor and Biomass Reactivity. Provo: Brigham Yong University Press.
Sahin, S. (2006). Physical Properties of Foods. New York: Springer.
United Nations Industrial Development Organization. (2005). Herbs, Spices, and Essential Oils: Post-Harvest Operations in Developing Countries. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations.